06 Agustus 2008

THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH (5)

Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah disingkat TQN secara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Dan tujuan TQN adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).

Dalam tradisi tarekat, tujuan TQN dilukiskan secara jelas dalam do'a yang diucapkan setiap orang yang hendak melakukan amalan yang maha penting, yaitu dzikrullah. Do'a dimaksud adalah sebagai berikut, "Tuhanku, engkaulah yang menjadi tujuanku dan keridhoan-Mu yang aku cari, berikanlah kepadaku kemampuan mencintai-Mu dan Ma'rifah kepada-Mu".

Dalam doa awal dzikrullah, sebagaimana tertulis di atas, terkandung substansi ajaran Islam secara mendasar: Bahwa Allah-lah yang menjadi maksud dan tujuan akhir hidup manusia. Dalam doktrin teologi Islam dijelaskan bahwa manusia pada awal kejadiannya berasal dari Allah, kini sedang berada di bumi Allah dan akhirnya akan kembali kepada Allah.

  1. Betul semua manusia akan kembali kepada Allah, tetapi apakah ia akan kembali kepada ridha Allah atau kepada azab Allah.
  2. Dalam doa tersebut selanjutnya dijelaskan bahwa keridhoan Allah-lah (mardhotillah) yang hendak dicari. Dalam aplikasinya, keridhoan Allah hanya dapat dicari dengan taqarrub. Taqarrub ila Allah artinya mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikrullah, baik dzikrullah dalam arti umum maupun dalam arti khusus. Adapun yang termasuk dzikrullah yang disebut pertama: misalnya shalat, zakat, puasa, haji, membaca Al-Qur'an atau berbagai aktivitas manusia yang dasarnya tauhidullah, berorientasi kepada ridho Allah dan dilakukan secara ikhlas karena Allah. Sedangkan yang dimaksud dzikrullah dalam arti khusus adalah mengucapkan kalimat tayyibah secara lahir batin, dengan penuh penghayatan, tadharru dan khusuk dibawah bimbingan seorang mursyid melalui talqin. Itu bisa dilakukan secara perorangan (munfarid) ataupun secara berjama'ah; diucapkan secara jahr atau khafi, dengan tujuan berada sedekat mungkin disisi Allah. Nabi Saw bersabda: "Jadilah kamu bersama Allah. Jika tidak, beradalah bersama orang yang bersama Allah".
  3. Dalam upaya menggapai maksud yang begitu luhur tadi, yaitu keridhoan Allah, seorang "salik" hendaklah berdo'a dengan do'a sebagai terlukis dalam awal ibadah dzikir tadi, "Berilah aku kemampuan, ya Allah untuk mencintai-Mu dan ma'rifah kepada-Mu". Sebab tanpa hidayah dan pertolongan Allah, mustahil seseorang mempunyai kemampuan untuk bertaqorrub kepada-Nya, lebih-lebih dapat sampai kepada keridhoan-Nya. TQN, sebagai ajaran, bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah ajaran yang kemunculannya identik dengan kemunculan Islam itu sendiri, yaitu "Thauhidullah", mengesakan Allah. Doktrin ini kemudian ditanamkan oleh Mursyi Al-Awwal, yaitu Nabi Saw, didalam hati setiap sahabat, lalu dihayati dirasakan dan buahnya dibuktikan dalam aktifitas kehidupan kesehariannya secara seimbang. Dalam term tasawuf, orang yang mampu mengaplikasikan tauhidullah dalam kehidupannya secara seimbang disebut Insan Kamil (Manusia Paripurna).

Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam TQN, yaitu kesempurnaan Suluk, Adab Murid terhadap Mursyid, Dzikir dan Muraqah. Tetapi inti ajaran TQN adalah Muroqobah artinya mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amalan dan riyadhah; yang paling prinsip adalah dengan cara berdzikir, sebagaimana sabda Imam Ali "cara terbaik dan tercepat untuk sampai kepada Allah adalah Dzikrullah". Dzikir dalam TQN dilakukan setelah melaksanakan Ibadah Wajibah.

Ibadah Wajibah merupakan penjabaran Syari'ah sedangkan dzikir merupakan pengamalan aspek bathin dari syari'ah yang dalam tasawuf disebut thoreqat. Syari'at dan Tarekat keduanya diamalkan secara seimbang dalam upaya mencari hakikat. Ketika para sahabat bertanya kepada Abdullah bin Abbas mengenai interpretasi firman Allah, "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku; nanti Aku pun ingat kepadamu". Ia Menjawab: "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku dengan jalan Taat kepada-Ku; nanti Aku ingat kepadamu dengan pertolongan-Ku". Senada dengan pernyataan diatas, Sa'id bin Jubair mengatakan: "Ingatlah kepada-Ku dengan cara taat kepada-Ku; Aku pun ingat kepadamu dengan ampunan-Ku", sementara sebagian sahabat berpendapat; "Dzikirlah kalian kepada-Ku sewaktu mendapatkan Nikmat dan Kebahagiaan, Niscaya Aku ingat kepadamu ketika kamu dalam kesulitan dan cobaan".

Mengapa Dzikir begitu prinsip dalam TQN? Jawabannya, betapa banyak ayat Al-Qur'an yang menguatkan kedudukan dzikir; bahwa dzikir merupakan perkara yang paling besar. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Sholat harus bisa mencegah dari perbuatan Fakhsyah dan Munkar, dan sesungguhnya dzikir kepada Allah Swt lebih besar dan Allah Swt amat mengetahui apa yang kamu perbuat". (QS. Al Ankabut: 45)

Menurut orang-orang yang ma'rifat, paling tidak ada empat prinsip tentang interpretasi ayat diatas;

  • Pertama, Sesungguhnya dzikir kepada Allah lebih besar daripada segala sesuatu. Ia adalah ketaatan yang paling utama; yang dimaksud taat disini adalah menegakan dzikir kepada Allah, sedangkan dzikir adalah rahasia ketaatan dan daya ketaatan itu sendiri.
  • Kedua, Sesungguhnya kamu sekalian, kaum muslimin, jika ingat kepada-Nya, maka Allah pun ingat kepadamu; sedangkan dzikir Allah kepadamu lebih besar daripada dzikir kamu kepadanya.
  • Ketiga, Sesungguhnya Dzikir kepada Allah lebih besar daripada tetapnya "Fakhisyah" dan "kemungkaran, bahkan jika dzikir dibaca secara sempurna, ia akan dapat menghilangkan segala kesalahan dan maksiat.
  • Keempat, Sesungguhnya amal sholeh, apabila ingin diterima oleh Allah, harus diakhiri dengan dzikir dan pujian. Menurut Pangersa Abah, sebagai dikutip Djuhayah S. Praja, Taqarrub illa allah merupakan inti ajaran tasawuf (TQN) dengan cara mensucikan jiwa (tasfiyat al qulub). Dengan hati yang suci seorang Salik mungkin dapat meihat Tuhannya.

Selanjutnya, dijelaskan bahwa TQN adalah salah satu metode untuk mencapai tujuan tasawuf, tujuan dari suatu inti keberagamaan, dengan kata lain, Abah memandang TQN bukan satu-satunya jalan pencapai tujuan "ini berarti" demikian analisis djuhaya, "Abah menghormati tarekat-tarekat yang lain". Secara vertikal, TQN membawa manusia kepada Tuhan dan secara seharusnya hidup secara bersama dalam sosial kemasyarakatan. Tanbih mengandung ajaran Moral, menyangkut pelbagai kehidupan. Pandangan TQN menyangkut hubungan dengan Negara, misalnya, dapat dilihat dalam uraian tanbih sebagai berikut: "Adapun kami tempat bertanya tentang Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, menghaturkan dengan tulus ikhlas, wasiat kepada segenap murid-murid; berhati-hatilah dengan segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan peraturan Agama maupun Negara. Insafilah, jangan terpengaruh oleh godaan syaitan, waspadailah akan jalan penyelewengan terhadap perintah Agama maupun Negara, agar dapat meneliti diri kalau tertarik oleh biskan iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita".

Pandangan TQN mengenai Hubungan Sosial Kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian tanbih berikut ini:

  1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita baik dhohir maupun batin harus kita hormati, begitulah seharusnya, hidup rukun saling harga-menghargai;
  2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya: "'Adzabun Alim", yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (badan payah, hati susah);
  3. Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersifat angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan;
  4. Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.

Demikianlah sesungguhnya sikap manusia yang penuh keadaran meskipun kepada orang asing karena mereka itu masih keturunan Nabi Adam As. Mengingat ayat 70 Surat al-Isra yang artinya: "Sangat Kami muliakan keturunan Nabi Adam dan Kami sebarkan segala yang berada didarat dan lautan, juga Kami mengutamakan mereka lebih utama dari mahluk lainnya". Kesimpulan dari ayat ini bahwa kita sekalian seharusnya saling harga menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat surat al Maidah yang artinya: "Hendaklah tolong menolong dengan sesama dan dalam melaksanakan kebajikan dan ketakwaan dengan sungguh-sungguh terhadap Agama maupun Negara, sebaliknya jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah Agama maupun Negara".

Keempat materi tanbih diatas menjelaskan kepada kita bagaimana model ideal interaksi antar kita dengan orang yang lebih tinggi dari kita, dengan sesama dalam arti yang sederajat dalam segalanya, dengan orang yang ada dibawah kita dan dengan fakir miskin. Tanbih menjelaskan bahwa kedamaian lahir bathin akan terwujud ditengah-tengah masyarakat manakala masing-masing individu berpegang teguh terhadap etika sosial; sebagaimana digambarkan dalam tanbih tadi.

Dalam sebuah hadist dijelaskan: "Bukanlah dari golonganku orang yang tidak sayang kepada yang ada dibawahnya dan tidak menaruh hormat kepada orang yang ada diatasnya". Lebih dari itu, Tanbih juga membuat patokan bagaimana seharusnya sikap kita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan orang asing, baik yang seagama dengan kita maupun yang tidak seagama. Kita harus tetap saling hormat menghormati, harga menghargai Tepo Seliro.

Menyangkut Hubungan dengan Non Muslim lebih jelas lagi, tanbih menegaskan seperti berikut: "Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat Al Kafirun ayat 6: 'Agamamu untuk kamu, Agamaku untuk ku', maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tapi janganlah ikut campur". Tanbih menggariskan adanya toleransi beragama, sejauh tidak melanggar etika teologis. Jangan karena alasan toleransi, keyakinan di korbankan.

Oleh karena itu, dalam urusan agama janganlah kita ikut-ikutan, tetapi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun politik, kita menyatu secara damai dan toleran. Selanjutnya Tanbih menjelaskan, "Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari perbuatan diri sendiri". Pernyataan Tanbih diatas, disamping mengandung ajaran moral dan akhlak, mengandung pula ajaran teologi. Ketika seseorang dituntut untuk bersikap dan berprilaku terhadap fakir miskin, maka ia harus bersikap jabbariyah. Akan tetapi, ketika melihat kenyataan kehancuran sekelompok manusia yang tidak bersyukur, ada tuntutan untuk bersikap khodariyah. Kehancuran dan kehinaan manusia karena ulahnya sendiri, bukan kehendak Allah.

Bagian akhir tanbih menyatakan: "Oleh karena demikian, hendaklah segenap murid-murid bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan lahir dan batin dunia maupun akhirat, supaya hati tentram. jasad aman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya: Budi utama jasmani sempurna ( Cageur Bageur ). Tidak lain amalan kita, Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai kebajikan, menjauhi segala kejahatan lahir batin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan". Kebahagiaan lahir batian, bagi manusia beriman, khususnya para ikhwan TQN, adalah mengamalkan ajaran TQN secara sungguh-sungguh. Inti ajarannya, sebagai terlah diungkap dalam bab sebelumnya adalah dzikir. Segala amalan yang telah baku di lingkungan TQN yang sifatnya nafilah disebut dzikir. Kumpulan dzikir-dzikir yang biasa dibaca setiap kali khataman telah dituangkan oleh Mursyid kita dalam sebuah risilah yang di beri nama Uqud Al-juman.[qalbu.net]

INFO TERKAIT:
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (1)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (2)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (3)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (4)

THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH (4)

Meskipun ada sementara pendapat bahwa agama Islam sudah masuk di Indonesia pada abad ke-7/8 M, namun berdasarkan bukti-bukti historis yang kuat, kelompok-kelompok masyarakat Islam baru berkembang sejak abad ke-13 M, yaitu abad perkembangan tarekat yang pesat di Dunia Islam. Akan tetapi, sampai sekarang belum jelas bagaimana peranan tarekat-tarekat dalam penyiaran Islam di Indonesia pada masa pertama penyebarannya.

Secara terpisah, Tarekat Qadiriyyah sudah mulai menyebar ke Indonesia pada abad ke-16 M. Menurut Rinkas, Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang pengikut tarekat Qadiriyyah dan berusaha menyebarkannya ke daerah-daerah yang dikunjunginya sampai ke Jawa. Sebaliknya Tarekat Naqsyabandiyyah menurut Trimingham masuk ke Indonesia melalui Mekah. Pada tahun 1840 M, seorang Syekh berasal dari Minangkabau diresmikan menjadi pemimpin tarekat Naqsyabandiyyah yang pertama untuk Indonesia. Selanjutnya, Tarekat Naqsyabandiyyah berkembang pesat di Nusantara. Menurut Hawash Abdullah ada dua versi tarekat Naqsyabandiyyah yang tersebar di kawasan ini, yaitu Naqsyabandiyyah al-Khalidiyah yang dipelopori oleh Syekh Ismail ibn Abdillah Al-Khalidi dan Naqsyabandiyyah Muzhariyah yang dipelopori oleh Sayid Muhammad Saleh al-Zawawi. Di Jawa pada abad ke-19 menurut Kartono Kartodiharjo, tarekat Naqsyabandiyyah merupakan tarekat yang paling banyak pengikutnya melebihi tarekat-tarekat Qadiriyyah dan Syatariyyah.

Penyebaran Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu sejak tibanya kembali murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi di tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, TQN disebarkan oleh dua orang muridnya; Syekh Nuruddin (berasal dari Filipina) dan Syekh Muhammad Sa'ad (putra asli Sambas). Karena penyebaran tarekat ini tidak melalui semacam lembaga pendidikan formal seperti pesantren, maka TQN hanya tersebar di kalangan orang awam sehingga tidak memperoleh kemajuan yang berarti. Lain halnya di pulau Jawa, TQN disebarkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya, maka perkembangannya pun pesat sekali sehingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan berpengaruh dikawasan ini.

Syekh Abdul Karim dari Banten merupakan ulama berjasa dalam penyebaran TQN di Jawa. Dia murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi pendiri TQN di Mekah. Dialah yang diangkat gurunya (Khatib Sambas) untuk menggantikan kedudukan sebagai pemimpin tertinggi Tarekat Qadiriyyah di kota suci Mekah sepeninggalnya pada tahun 1875 M. Syekh Abdul Karim pun mematuhi pengangkatan tersebut dan dia pun berangkat ke Mekah pada tahun 1876 M.

Syekh Khatib Sambas memang banyak mempunyai murid yang berasal dari Nusantara. Karenanya, TQN tersebar di berbagai daerah seperti; Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura dan Banten. Kecuali Madura, semua pengikut TQN di daerah-daerah tersebut mendapat bimbingan dari Syekh Abdul Karim. Di Madura pemimpin TQN adalah Syekh 'Abdadmuki, putra asli.

Syekh Abdul Karim tiba kembali ke Banten pada awal tahun 1870-an, sebelumnya dia mampir di Singapura dalam perjalanan pulang dari Mekah setelah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Setibanya di Banten dia mendirikan pesantren, yang sekaligus dijadikan pusat penyebaran TQN di daerah trsebut. Karenanya, tarekat Qadiriyyah yang diduga sudah ada di Banten sejak ke-16 M dengan kedatangan Syekh Hamzah Fansuri di daerah ini, mendapat angin segar sehingga TQN berkembang pesat. Malah kedatangan Syekh Abdul Karim di Banten juga berhasil mempersatukan para ulama dan pesantren-pesantren di daerah tersebut dan mengobarkan semangat anti penjajahan, yang akhirnya bermuara pada pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888 M yang terkenal itu. Dia dianggap sebagai salah seorang dari tiga ulama yang berperan dalam mencetuskan pembrontakan rakyat tersebut meskipun pada tahun itu dia berada di Mekah dalam statusnya sebagai pemimpin tertinggi Tarekaot Qadiriyyah Naqsyabandiyyah menggantikan gurunya Syekh Khatib Sambas.

Menurut Dhofier, lima pondok pesantren di Jawa yang sekarang menjadi pusat penyebaran TQN di Indonesia, semuanya menelusuri silsilahnya kepada Syekh Abdul Karim. Kelima pondok pesantren tersebut adalah;

  1. Pesantren Pegentongan di Bogor (Jawa Barat)
  2. Pesantren Suryalaya di Tasimalaya (Jawa Barat)
  3. Pesantren Mranggen di Semarang (Jawa Tengah)
  4. Pesantren Rejoso di Jombang (Jawa Timur)
  5. Pesantren Tebuireng di Jombang (Jawa Timur)

Adapun pesantren Suryalaya didirikan oleh Syekh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad pada tanggal 7 Rajab 1323 H (5 September 1905 M). Beliau menerima TQN dari gurunya, Syekh Ahmad Tholhah di Cirebon, yang menerima dari Syekh Abdul Karim Banten. Setelah merasa tua dan uzur Syekh Abdullah Mubarak menyerahkan pimpinan pesantren dan TQN kepada putra beliau; Syekh A. Sahahibilwafa Tadjul 'Arifin (yang terkenal dengan sebutan; Abah Anom), pemimpin pesantren Suryalaya sekarang ini. Pada masa kepemimpinan beliau inilah TQN menyebar luas ke seluruh pelosok Indonesia, malah sampai ke berbagai negara Asean, seperti; Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Demikianlah asal-usulnya, di kota suci umat Islam Mekah al-Mukarramah, Tarekat Qadiriyyah dan Tarekat Naqsyabandiyyah menyatu dalam diri seorang mursyid dengan nama baru Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN). Dari kota suci inilah pula tarekat baru tersebut memancar ke Nusantara, tanah air tercinta.[qalbu.net]

INFO TERKAIT:
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (1)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (2)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (3)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (5)

PRAKTIK AMALIYAH

Seorang pengamal TQN harus membuktikan kebajikan yang timbul dari kesucian, sebagai berikut:

  1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita baik dhohir maupun batin harus kita hormati, begitulah seharusnya, hidup rukun saling harga-menghargai.
  2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya: "'Adzabun Alim", yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (badan payah, hati susah).
  3. Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersifat angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan.
  4. Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.

Disamping itu seorang pengamal TQN harus mengamalkan wasiat dari Guru Mursyid antara lain:

  • Jangan membenci kepada ulama yang sezaman
  • Jangan menyalahkan kepada pengajaran orang lain
  • Jangan memeriksa murid orang lain
  • Jangan merubah sikap meskipun disakiti orang
  • Harus menyayangi orang yang membenci kepadamu

Juga kepada segenap pengamal TQN agar dapat menjaga keseragaman pengamalan (amaliah) baik harian, mingguan (khataman) maupun bulanan (manaqiban) sebagai berikut;

  1. HARIAN, dzikir berjama'ah dengan tertib, tidak tergesa-gesa, menjaga suara agar tidak saling mendahului.
  2. MINGGUAN, Khataman yang berisi tawassul dan membaca aurod-aurod serta do'a-do'a.
  3. BULANAN, Manakib dengan tata tertib sebagai berikut:
    • Pembacaan ayat suci Al-Qur'an
    • Pembacaan Tanbih
    • Tawassul
    • Pembacaan Manakib Syekh Abdul Qadir Jailani QS
    • Ceramah amaliah
    • Penutup

SILSILAH

Allah SWT
Jibril as
Rasulullah Muhammad saw

Ali k.w.h


2



Abu Bakar ash Shiddiq

Hussayn r.a


3



Salman al Farisi

Zayn al Abidin


4



Qasim b. Muhammad b. Abi Bakar

Muhammad Baqir


5



Ja'far Shadiq

Ja'far Shadiq


6



Bayazid Tayfur al Bistami

Musa al-Kazhimi


7



Abu'l Hasan al Kharqani

Abu al - Hasan Ali ibn Musa


8



Abu Ali farmadi

Ma'ruf al-karkhi


9



Abu Yusuf Hamdani

Sarri Saqathi


10



Abdul Khaliq Ghujdawani

Abu al-Qasim al-Juanydi al-Baghdadi


11



Muhammad Arif Riwagiri

Abu Bakar Dilfi Syibli


12



Mahmud Abdulkhayr Faghnawi

Abu Faddl Abd. Wahid at Tamimi


13



Azizan Ali Ramitani

Abu al Faraj at Thusy


14



Muhammad Baba Sammasi

Abu al Hasan Ali ibn Yusuf al-Qirsyi


15



Amir Kuallal

Abu Said ibn Ali al Mazhumi


16



Shah Muhammad Bahaudin al Uwaysi

Abdul Qadir al Jaylani


17



Ala'uddin Muhammad Attar

Abdul Aziz


18



Ya'kub Harqi

Muhammad al Hattak


19



Nashruddin Ubaydillah Ahrar

Syamsyuddin


20



Muhammad Zahidi

Syarafuddin


21



Darwis muhammad Baqi Billah

Nuruddin


22



Imam Rabbani Ahmad Faruqi Sirhindi

Waliyuddin


23



Muhammad Ma'shum Srihindi

Hisyamuddin


24



Safruddin Arif Muhmmad

Yahya


25



Nur Muhammad Badawu

Abu Bakar


26



Syamsuddin Habibullah jan I Janan

Abdur Rahman


27



Abdullah ad Dihlawi

Utsman


28



Abu Said al ahmadi

Abdul Fatah


29



Ahmad Said

Muhammad Murad


30



M. Jan al Makkiy

Syamsuddin


31




Khalid Hilmi

Ahmad Khatib Sambasi


32




Tholhah Kalisapu Cirebon


33




Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad (Abah Sepuh)


34




Achmad Shahibul Wafa' Tajul Arifin (Abah Anom)



35