24 September 2008

HAMPIRI AKU KEMBALI, RAMADHAN

Tanpa terasa, hari-hari menakjubkan di atas sajadah Ramadhan akan segera berlalu. Kaum muslim bersiap-siap melantunkan takbir dan tahmid seraya menyambut kemenangan Idul Fitri. Adakah alasan untuk tidak merayakannya secara suka cita?

Ramadhan adalah kesempatan mendulang barokah, ampunan, dan percikan kesucian untuk dijauhkan dari api neraka namun didekatkan pada taman surga. Secara syariat, puasa diartikan menahan makan, minum, dan “ibadah khusus” dengan suami atau istri, sesuai firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah. Pengertian itu membidik kendali fisik.

Perut yang kerap mengatur ritme pikiran dan hati diminta beristirahat mengumbar keinginannya. Karena, manusia kerap memburu untuk kebutuhan bagian itu dengan cara apa saja. Dalam artian, tidak lagi menimbang logika apalagi nurani. Apapun yang diinginkan harus didapat. Apapun yang terlihat didepan mata disikat. Sehingga, ketentuan Allah SWT yang disampaikan dalam Al Qur’an dan praktek-prakteknya nyata yang dicontohkan Rasulallah SAW bisa diabaikan.

Pada bagian itu, manusia telah mereinkarnasi perwujudan jiwanya seperti manusia purba. Yakni, manusia yang belum diperkaya akal dan budi, serta belum dilabeli fitrah khalifah. Dengan kata lain, tentu tidak ubahnya dengan hewan. Kebutuhan perut di atas segala-galanya. Dan, ia halal saja memperoleh kebutuhan lahiriah itu dengan cara semau-maunya. Tak peduli itu hak orang lain.

Saya teringat nasihat kuno yang disampaikan Cak Nun dalam “Jejak Tinju Pak Kiai”, Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikan asal-usul kebenaran dan kebatilannya, posisi halal haramnya. Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anak dan cucu-cucumu”.

Bagian berbahaya lain yang menjadi fokus pelatihan, utamanya adalah “saudara” seiman yang kerap tidak seamin di bawah perut. Untuk memenuhi hajat yang satu itu, betapa manusia juga kerap mengabaikan norma dan ketentuan agama. Bila ada kesempatan, maka untuk memenuhi hasrat hewani itu pun kudu dituntaskan selekas-lekasnya. Bagian ini, lagi-lagi, mengingatkan kita akan sifat dasar hewan yang tidak memiliki aturan.

Kedua hal itu merupakan simbol pemenuhan hawa nafsu manusia. Untuk memperoleh keduanya, semua sifat dan karakter manusia bisa bermunculan tanpa batas. Manusia bisa tidak mengenal lagi temannya, saudaranya, bahkan orangtuanya. Maka, puasa menjadi latihan pengendaliannya. Puasa menjadi kesempatan menempa perut dan “saudara” kita untuk bersabar dan bersyukur. Bersabar untuk menunggu kesempatan memenuhi hak sesuai waktunya. Tidak perlu tergesa-gesa, tetap di antrean, dan membiarkan manusia lain yang lebih berhak untuk mendapatkannya. Karena, Yang Mahasabar telah mengatur semuanya dengan sempurna.

Sedangkan, bersyukur atas kesempatan menikmati hakekat kehidupan dari Yang Mahasyukur. Bersyukur masih mendapatkan apa-apa yang menjadi hak kita. Bersyukur masih bisa menikmatinya dengan penuh keberkahan. Dan, bersyukur seantiasa mendapat kebaikan dan kenikmatanNya.

Bila persoalannya sekedar menahan makan, minum, dan “ibadah khusus” dengan lawan jenis, maka tuntas sudah ujian-ujian itu dilewati. Tapi, apakah sesederhana itu pemahamannya?

Memang iya, bila kenikmatan Ramadhan belum juga diraih.

Cobalah rasakan kedasyatan puasa, dengan lapar, haus, dan kendali gairahnya itu. Cobalah merancang Ramadhan sebagai momen dasyat, dengan senantiasa berkeinginan menyambutnya, menjalankan seluruh amaliyahnya, dan bertekad menjadikan bulan-bulan lain laksana Ramadhan. Puasa bukan hanya dijadikan ujian kendali fisik, tapi juga praktik mengendalikan hati dan pikiran.

Cobalah melihat lebih jelas keadaan di sekitar kita. Biarkan Ramadhan membimbing mata, pikiran, dan hati, untuk melihat keadaan di sekeliling kita dengan jujur. Adakah sesuatu yang belum kita perbuat terhadapnya? Bila tidak, maka Ramadhan harus membimbing tangan kita untuk menyentuhnya dan berbuat banyak. Kebajikan, maksudnya.

Cobalah merenung barang sebentar, untuk meneliti kembali adakah kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang masih diperbuat dengan perjalanan ibadah kita. Baik menyangkut amaliyah terhadap Yang Mahasuci, atau perbuatan-perbuatan nyata terhadap makhluk-makhluk ciptaanNya. Introspeksi ini mesti membuahkan catatan tentang kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki. Masih adakah manusia lain yang terzhalimi ulah kita? Masih adakah hak manusia lain yang terengut keserakahan kita? Masih adakah kebahagiaan yang belum disalurkan kepada manusia lain?

Cobalah tidak melulu memikirkan pahala atau ganjaran atas ibadah-ibadah nyata, seperti puasa, shalat fardhu, shalat tarawih, tadarus, dan amaliyah lain. Tapi, berpikir juga melakukan semua itu bukan atas dasar imbalan atau pamrih. Tapi, semata-mata kecintaan kepada Allah SWT. Termasuk juga dalam berbuat kebajikan kepada orang lain, yang tidak lagi berpikir tentang pujian dari sesama dan pahala dari Yang Mahamemberi. Lagi-lagi, semata-mata kecintaan kepada Allah SWT.

Buah dari nilai kesejatian Rukun Islam ke-4 itu, tidak lain ridha Allah. Hanya atas ridhaNyalah, kita benar-benar berharap untuk senantiasa dihampiri Ramadhan dan menjalani keindahan hari-harinya. Sekaligus menjadikan kita sebagai manusia yang wajib hadir di muka Bumi (sebagai khalifah), bukan manusia yang sunnah, makruh, apalagi haram.

Mohon maaf lahir batin. Selamat idul Fitri 1429 Hijriah.[]