26 Agustus 2008

SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir Al-Jailani Qadasallahu Sirrahu, semoga Allah merahmatinya, adalah al-ghawts al-a’zham – manifestasi sifat Allah Yang Mahaagung, yang mendengar permohonan dan memberikan pertolongan, dan al-quthb al-a’zham – pusat dan ujung kembara ruhani, pemimpin ruhani dunia, sumber hikmah, perbendaharaan ilmu, teladan iman dan Islam, pewaris hakiki kesempurnaan Nabi Muhammad SAW. Ia termasuk insan kamil, pendiri Tarekat Qodiriyah, yang tersebar luas di dunia Islam dan telah menjaga makna tasawuf selama berabad-abad hingga kini.

Syekh lahir di al-Jil, termasuk dalam wilayah Iran, pada 470 Hijriah (1077-1078). Ibunya Ummul Khayr Fatimah binti Al-Syekh Abdullah Sumi – keturunan Rasulallah SAW melalui cucu terkasihnya, Sayyidina Husein RA – mengatakan, “Anakku, Abdul Qadir lahir di bulan Ramadhan. Di siang hari bulan Ramadhan. Bayiku tak pernah mau diberi makan.”

Berikut penuturan Syekh, seperti ditulis Syekh Tosun Bayrak dalam “Secret of The Secrets”.


Masa Kecil Syekh

Di waktu kecil, ada malaikat yang selalu datang kepadaku setiap hari dalam rupa pemuda tampan. Ia menemaniku ketika aku berjalan menuju madrasah dan membuat teman-temanku selalu mengutamakan diriku. Ia menemaniku seharian hingga aku pulang. Dalam sehari, aku peroleh ilmu lebih banyak daripada yang diperoleh teman-teman sebayaku selama satu minggu. Aku tak pernah mengenali pemuda itu.

Suatu hari, ketika aku bertanya kepadanya, ia menjawab, “Aku adalah malaikat yang diutus Allah. Dia mengutusku untuk melindungimu selama kau belajar.”

Setiap kali terlintas keinginan untuk bermain bersama teman-temanku, aku selalu mendengar bisikan, “Jangan bermain, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba yang dirahmati.”

Karena takut, aku berlari ke dalam pelukan ibu. Kini, meski pun aku beribadah dan berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa mendengar suara itu sejelas dulu.


Masa Remaja Syekh

Pada suatu pagi di hari raya Idul Adha, aku pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh dan memandangku, laluberkata, “Kau tercipta bukan untuk hal semacam ini.”

Mendengar hewan itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera berlari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika memandang ke depan, kulihat dengan jelas para jamaah haji sedang wukuf di Arafah.

Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya, “Izinkan aku menempuh jalan kebenaran. Biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para orang-orang bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah.”

Ketika ibuku menanyakan alasan keinginanku yang tiba-tiba, ia menangis sedih. Namun, ia keluarkan 80 keping emas – harta satu-satunya warisan ayahku. Ia sisihkan 40 keping untuk saudaraku. Sedangkan 40 keping emas lainnya dijahitkan di bagian lengan mantelku. Ia memberiku izin untuk pergi seraya berwasiat, agar aku selalu bersikap jujur. Apa pun yang terjadi.

Sebelum berpisah, ibuku berkata, “Anakku, semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku sadar, aku takkan bertemu lagi denganmu hingga hari kiamat.”

Aku ikut kafilah kecil menuju Baghdad. Baru saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok, yang terdiri dari 60 orang berkuda, menghadang kami. Mereka merampas semua harta milik anggta kafilah. Salah seorang perampok mendekatiku dan bertanya, “Anak muda, apa yang kau miliki?”

Kukatakan bahwa aku punya 40 keping emas.

Ia bertanya lagi, “Di mana?”

Kukatakan, “Di bawah ketiakku.”

Ia tetawa-tawa dan pergi meninggalkanku. Perampok lainnya menghampiriku dan menanyakan hal yang sama. Aku menjawab sejujurnya. Tetapi seperti kawannya, ia pun pergi sambil tertawa mengejek. Kedua perampok itu mungkin melaporkanku kepada pemimpinnya. Karena tak lama kemudian, pimpinan gerombolan itu memanggilku, agar mendekati mereka yang sedang membagi-bagikan hasil rampokan. Si pemimpin bertanya, “Apakah aku memiliki harta?”

Kujawab bahwa aku punya 40 keping emas yang dijahitkan di bagian lengan mantelku.

Ia ambil mantelku. Ia sobek. Dan ia temukan keeping-keping emas itu. Keheranan, ia bertanya, “Mengapa kau memberitahu kami, padahal hartamu itu aman tersembunyi?”

“Aku harus berkata jujur, karena telah berjanji kepafa ibuku untuk selalu bersikap jujur.”

Mendengar jawabanku, pemimpin perampok itu tersungkur menangis. Ia berkata, “Aku ingat janji kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini aku telah merampas harta orang dan membunuh. Betapa besar bencana yang akan menimpaku!”

Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu berkata, “Kau memimpin kami dalam dosa. Kini, pimpinlah kami dalam tobat!”

Ke-60 orang itu memegang tanganku dan bertobat. Mereka adalah kelompok pertama yang memegang tanganku dan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka.[]

18 Agustus 2008

PELAKSANAAN SHALAT NISFU SYA'BAN


Shalat sunat Nisfu Sya'ban kali ini, dilaksanakan pada Sabtu malam, 16 Agustus 2008 (malam 15 Sya'ban 1428 H). Pada malam ini, ditutuplah "Buku Catatan Perjalanan Hidup" setiap manusia. Dan akan dibuka lembaran buku baru untuk tahun yang akan datang.


Kita berharap, akhir dan awal dari lembaran buku catatan hidup kita diisi dengan amal kebaikan. Salah satunya adalah dengan melaksanakan Shalat sunat Nisfu Sya'ban. Shalat ini sebanyak 100 rakaat, 1000 qulhuwalloohu ahad. Baca juga Maklumat Abah Anom yang ditandatangani pada 1 Juni 1982 mengenai hal ini.

Niatnya : Usholli sunnatan nisfu sya'ban rok'ataini (imaaman/ma'muuman) lillahi ta'alaa. Allaahu akbar (Aku niat shalat sunat nisfu sya'ban 2 rakaat (menjadi imam/makmum) karena Allah Ta'ala. Allahu akbar.
Banyaknya : 100 rakaat (50 kali salam) lebih baik berjamaah.
Bacaannya: Setiap rakaat setelah Fatihah membaca surat al-Ikhlas (Qulhu walloohu ahad) 10 kali
Waktunya : Setelah shalat sunat ba'diyah Maghrib kemudian dilanjutkan setelah Isya (Fardhu Maghrib, dzikir, ba'diyah Maghrib, Nisfu Sya'ban, (masuk Isya), shalat sunat qobliyah Isya, Fardhu Isya, Ba'diyah Isya, dzikir, lanjutan Nisfu Sya'ban;).
Do'a setelah shalat sunat Nisfu Sya'ban:

Artinya : "Ya Allah! Tuhan yang membangkitkan dan tak ada yang sanggup membangkitkan kecuali Dia, ya Tuhan yang Maha Luhur dan Agung dan yang Maha Pemurah memberi nikmat-nikmat. Tidak ada Tuhan yang lain melainkan Engkau yang menolong orang-orang yang memohon pertolongan dan melindungi orang-orang serta mengamankan dari sekalian yang dikhawatirkan dan ditakuti.

Ya Allah andai kata telah ditakdirkan di sisi Mu akan daku dalam buku Azaly, bahwa aku celaka dan sedikit rezeki, terusir dan diharamkan akan daku maka hapuskanlah (apa-apa yang tercatat/tertulis dalam buku Azaly itu) dengan kemurahan-Mu. Dan tetapkanlah di sisi-Mu dalam buku Azaly itu (tukarkanlah akan keadaan di azalyku itu) dengan kebahagiaan lagi memperoleh rezeki yang dipergunakan untuk kebaikan, sesungguhnya Engkau berkata dan kata-kata-Mu adalah benar; sebagaimana tercantum di dalam Kitab-Mu yang Engkau turunkan atas lisan Nabi-Mu yang diutus (Muhammad saw.), "Yakni dihapuskan Allah barang yang dikehendakinya (perkataan/pernyataan yang menyimpang) dan ditetapkan-Nya di sisi-Nya di Azaly".

Ya Allah dengan keagunganMu pada malam Nisfu Sya'ban yang mulia / berkat ini, yang memisahkan kepadanya tiap-tiap perkara/keadaan dan urusan yang tepat dan yang dipastikan, hindarkan ya Allah kami dari bala'i/musibah yang kami ketahui dan yang tidak kami ketahui dan Engkaulah yang lebih mengetahui dengannya, sesungguhnya Engkau Maha Agung dan Pemurah". Washallallahu 'alaasayyidina Muhammadin wa alaa aalihii washohbihii wasallam. Walhaldulillahi robbil 'alamiin.[suryalaya.org]

14 Agustus 2008

SYEKH BAHAUDIN NAQSYBAND

Mawlana Syekh Bahaudin Naqsyband, Imam at Tariqah (semoga Allah swt mensucikan jiwanya) mengikuti jalan yang shaleh, terutama dalam hal tata cara makannya. Beliau mengambil segala jenis pencegahan sehubungan dengan makanannya. Beliau hanya mau makan dari barley yang ditanamnya sendiri. Beliau akan memanennya, menggilingnya, membuat adonan, menanak dan memanggangnya dengan tangannya sendiri. Semua ulama dan para pencari di masanya membuat jalan mereka menuju rumahnya, agar bisa makan di mejanya dan mendapatkan berkah dari makanannya.

Syekh Naqshbandi mencapai suatu kesempurnaan dalam hal penghematan. Pada musim dingin, beliau hanya meletakkan selembar karpet tua di lantai rumahnya dan ini tidak memberi perlindungan dari udara dingin yang menusuk. Pada musim panas beliau meletakkan tikar yang sangat tipis di lantai. Beliau mencintai orang yang miskin dan membutuhkan. Beliau mendorong para pengikutnya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, yaitu dengan membanting tulang.

Beliau mendorong mereka untuk membagikan uangnya kepada fakir miskin. Beliau memasak untuk fakir miskin dan mengundang mereka untuk makan bersama. Beliau melayani mereka dengan tangannya sendiri yang suci dan mendorong mereka agar tetap berada di Hadirat Allah. Jika salah seorang di antara mereka memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan cara yang tidak baik, beliau akan menegurnya, melalui pandangan spiritualnya terhadap apa yang telah mereka lakukan dan mendorong mereka untuk tetap ingat kepada Allah swt ketika sedang makan.

Beliau mengajarkan, “Salah satu pintu yang paling penting menuju ke Hadirat Allah adalah makan dengan Kesadaran. Makanan memberikan kekuatan bagi tubuh, dan makan dengan kesadaran memberikan kesucian bagi tubuh.”

Suatu saat beliau diundang ke sebuah kota bernama Ghaziat di mana salah seorang muridnya telah menyiapkan makanan baginya. Ketika mereka duduk untuk makan, beliau tidak menyentuh makanannya. Tuan rumah menjadi terkejut. Syekh Naqsyband berkata, “Wahai anakku, aku ingin tahu bagaimana engkau menyiapkan makanan ini. Sejak engkau membuat adonan dan memasaknya sampai engkau menyajikannya, engkau berada dalam keadaan marah. Makanan in bercampur dengan kemarahan itu. Jika kita memakan makanan itu, setan akan menemukan jalan untuk masuk melaluinya dan menyebarkan seluruh sifat buruknya ke seluruh tubuh kita.”

Di waktu yang lain beliau diundang ke kota Herat oleh rajanya, Raja Hussain. Raja Hussain sangat senang dengan kunjungan Syekh Naqsyband dan memberikan pesta besar baginya. Raja mengundang semua mentrinya, Syekh-Syekh dari kerajaannya dan seluruh tokoh terhormat. Beliau berkata, “Makanlah makanan ini. Ini adalah makanan yang murni, yang dibuat dari uang yang halal yang kudapat dari warisan ayahku.”

Semua orang makan kecuali Syekh Naqsyband. Hal ituy mendorong Syekh ul-Islam pada saat itu, Qutb ad-din, untuk bertanya, “Wahai Syekh kami, mengapa engkau tidak makan?“

Syekh Naqsyband berkata, “Aku mempunyai seorang hakim tempat aku berkonsultasi. Aku bertanya kepadanya dan hakim itu berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, mengenai makanan ini terdapat dua kemungkinan. Jika makanan ini tidak halal dan engkau tidak makan, bila engkau ditanya engkau dapat mengatakan, aku datang ke meja seorang raja tetapi aku tidak makan. Maka engkau akan selamat, karena engkau tidak makan. Tetapi bila engkau makan dan engkau ditanya, maka apa yang akan kau katakan? Maka engkau tidak akan selamat.”

Pada saat itu, Qutb ad-Din begitu terkesan dengan kata-kata ini dan tubuhnya mulai bergetar. Beliau harus meminta izin kepada raja untuk menghentikan makannya. Raja sangat heran dan bertanya, “Apa yang harus kita lakukan dengan semua makanan ini?”

Syekh Naqsyband berkata, “Jika ada keraguan mengenai kesucian makanan ini, lebih baik berikan kepada fakir miskin. Kebutuhan mereka akan makanan akan membuatnya halal bagi mereka. Jika seperti yang engkau katakan, makanan ini halal, maka akan lebih banyak lagi berkah dalam pemberian makanan ini sebagai sedekah kepadaereka yang membutuhkan daripada menjamu orang-orang yang tidak benar-benar membutuhkannya.”

Sebagian besar hari-harinya dijalani dengan berpuasa. Jika seorang tamu mendatanginya dan beliau mempunyai sesuatu yang bisa ditawarkan kepadanya, maka beliau akan duduk menemaninya, membatalkan puasanya dan makan bersamanya. Beliau berkata kepada para pengikutnya bahwa para Sahabat Rasulullah SAW biasa melakukan hal yang sama. Syekh Abul Hasan al-Kharqani qs berkata dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Thariqat dan Prinsip-Prinsip dalam Meraih Makrifat”; Jagalah keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa. Ini berarti bahwa jika engkau sedang berpuasa, lalu ada seseorang yang berkunjung sebagai teman, maka engkau harus duduk bersamanya dan makan bersamanya demi menjaga adab dalam berteman dengannya. Salah satu prinsip dalam puasa, atau ibadah lainnya adalah menyembunyikan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jika seseorang membukanya, misalnya dengan berkata kepada tamunya bahwa dia sedang berpuasa, maka kebanggaan bisa masuk ke dalam dirinya sehingga menghancurkan puasanya. Inilah alasan di balik prinsip tersebut.

Suatu hari beliau diberikan seekor ikan yang telah dimasak sebagai hadiah. Di sekitarnya terdapat banyak orang miskin, di antara mereka terdapat seorang anak yang sangat shaleh dan sedang berpuasa.

Syekh Naqsyband memberikan ikan itu kepada orang-orang miskin dan mengatakan kepada mereka, “Silakan duduk dan makan.”

Demikian pula kepada anak yang sedang berpuasa itu, “Duduk dan makanlah.”

Anak itu menolak. Beliau berkata lagi, “Batalkan puasamu dan makanlah.”

Lagi-lagi anak itu menolak.

Beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana jika aku memberimu salah satu di antara hari-hariku di bulan Ramadhan? Maukah engkau duduk dan makan?”

Sekali lagi dia menolak.

Beliau berkata kepadanya, “Bagaimana jika aku memberimu seluruh Ramadhanku?”

Namun masih saja dia menolak.

Beliau berkata, ”Bayazid al-Bistami pernah suatu kali dibebani orang sepertimu. Sejak saat itu anak itu terlihat berpaling untuk mengejar kehidupan duniawi. Dia tidak pernah berpuasa dan tidak pernah beribadah lagi.”[]

INFO TERKAIT:
Silsilah
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Syekh Abi'l Qasim Al-Junayd AL-Baghdady
Syekh Achmad Khatib Sambasi Ibn Abdul Gaffar
Syekh Tholhah Kalisapu Cirebon
Syekh Abdul Karim Bantani
Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad
KHA Sohibulwafa Tajul Arifin

13 Agustus 2008

SHALAT NISFU SYA'BAN

Allahuma barighlana fi rojaba wasyakbana wabarighna ramadhan. Tanpa terasa Rajab telah berlalu, berganti Sya’ban, dan menanti Ramadhan. Namun, di setiap bulan-bulan, hanya keberkahan dan keridhaanNya yang diharap.

Pertengahan Agustus, atau tepat 15 Rajab, Wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyah Naqshabandiyan Ponpes Suryalaya Wilayah Tangerang, Ustadz M. Sirodjudin Ruyani, mengajak para ikhwah untukmelaksanakan shalat khair ba’da maghrib. Shalat dilaksanakan sebanyak 100 rakaat dengan 50 salam dan di setiap rakaat membaca surat Al Ikhlas.

Meski artikel di bawah menjadi polemik soal bid’ah atau tidaknya pelaksanaan shalat itu, bagi jamaah TQN tetap wajib hukumnya. Karena itu, peduli dengan polemik yang berkembang, pelaksanaannya laksana “malam minggu nan dasyat”. Dalam Manaqib Sya’ban 1429 Hijriah di Sekretariat Yayasan Serba Bhakti Ponpes Suryalaya Wilayah Tangerang, pesan yang dihembuskan, “malam itu tak ubahnya lailatut qadr kedua”, karena banyak keberkahan yang bakal diturunkan.

Supaya tidak terlalu “kuper”, saya merasa perlu memperlihat dalil-dalil yang menyongkong pelaksanaan amaliyah itu. Naskah aslinya di blog tausyiah275 memperlihatkan “keganjilan” ibadah nisfu sya’ban. Menurut saya, dengan hadits yang sudah betul, justru penafsirannya yang membias. Saya berani mengatakan seperti itu, karena baru saja khatam membaca “Al Musthafa”-nya Kang Jalaluddin Rakhmat, yang membidik khilafiyah sejarah dan penafsiran hadits.

Jadi, saya yakin seribu persen, dalil-dalil di bawah memang mendukung pelaksanaan amaliyah itu dan bukan kebalikannya.

Nisfu artinya setengah atau seperdua, dan Sya’ban adalah bulan ke-8 dari tahun Hijriyah. Nisfu Sya’ban secara harfiyah berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau tanggal 15 Sya’ban. Jika aku merujuk ke kalender Hijriyah, Insya Allah 16 Agustus besok, besok kita akan tiba di malam ke-15 bulan Sya’ban.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bulan Sya’ban itu bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadhan. Ia adalah bulan diangkatnya amal-amal oleh Tuhan. Aku menginginkan saat diangkat amalku aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Nasa’I dari Usamah)

Riwayat lain yg serupa menuliskan dari Usamah bin Zaid: “Saya bertanya: Wahai Rasulullah SAW, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban”.

Rasul SAW bersabda,”Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa.” (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa?i dan Ibnu Huzaimah).

Dari Aisyah RA, ”Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR Muslim)

Hadits-hadits di atas digunakan saudara-saudara kita yang tidak mendukung pelaksanaan amaliyah di malam ke-15 Sya’ban (shalat 100 rakaat) dengan alasan dhaif. Selain sanadnya lemah, hadits itu tidak membuktikan Rasulallah mempraktikkan amaliyah itu.

Kalau bicara sanad, merujuk uraian Kang Jalaluddin Rakhmat dalam buku “Al Musthafa” perlu menimbang sirad atau sejarah para perawi. Karena, sebuah hadits didokumentasikan dalam suasana politik penguasa. Ketika Bani Ummayah berkuasa, betapa banyak hadits tentang Ali KW yang disingkirkan, sebaliknya mereka mengedepankan keutamaan kelompoknya. Sehingga, soal sanad perlu dikaji lagi.

Kedua, meneliti hadits berdasarkan content, apakah isinya bertentangan dengan Al Qur’an atau tidak? Bila tidak, meski dianggap “dhaif”, kenapa juga harus ragu menerimanya. Karena, soal dhaif juga begitu subyektif dan cenderung emosional kesukuan. Kelompok apa pun bisa melegalkan perbuatannya karena hadits tertentu. Tapi, kelompok lain bisa memdhaifkannya karena hadits tertentu pula. Bagi para ikhawah, ketajaman fawaid sangat perlu. Di sinilah begitu terasanya arti zikir, untuk mendongkrak kepekaan hati kita terhadap permasalahan amaliyah.

Itu bila dilihat dari sudut hadits. Namun, bila kita mencoba mempertanyakan praktik amaliyah Rasulallah SAW, tentu saja harus lebih makin obyektif. Karena, setiap detak jantung dan desah nafasnya adalah ibadah. Rasulallah menjalankan amaliyah secara kaffah dan nawafil. Yang sunnah pun laksana fardhu. Sungguh tiada bandingannya. Bahkan, para sufi sekalipun.

Karena itu, bila ada keraguan dengan jumlah rakaat atau praktik ibadah di hari-hari Beliau SAW, jangan-jangan kita memang tengah mendapat hidayah untuk belajar lebih dalam.

Meski begitu, kalau masih ada saudara-saudara kita yang tetap ngotot mendhaifkannya, kenapa tidak kita balas dengan senyum? Apakah karena hadits dhaif, praktik amaliyah itu tidak boleh dikerjakan? Atau, artinya haram? Dan, karena alasan bid’ah? Kan, amaliyah itu tidak bertentangan dengan Al Qur’an? Tidak bolehkan menunjukkan rasa syukur dan mengharap keberkahan di malam spesial itu melalui shalat 100 rakaat? Bukankah amaliyah itu bertujuan mendekatkan diri kepada Yang Mahasyukur? Bukankah shalat menjadi moment pertemuan denganNya yang paling tepat?

Di bawah ini ada hadits-hadits yang mendukung pelaksaan pesta indah di malam nisfu Sya’ban. Sekali lagi, pertimbangkan sanad dan content dalam penyusunan hadits, plus situasi politiknya. Lebih utama, kelapangan hati kita untuk menyambut dan melaksanakan amaliyah itu.

Hadits lain menyebutkan, “Wahai Ali, barang siapa yang melakukan sholat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya … dan seterusnya.”

Dari Ali bin Abi Tholib KW, “Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, maka bangunlah kamu (menghidupkannya dengan ibadah) pada waktu malam dan berpuasalah kamu pada siangnya, karena sesungguhnya Allah SWT akan turun ke langit dunia pada hari ini bermula dari terbenamnya matahari dan berfirman: ‘Adakah sesiapa yang memohon ampun daripada-Ku akan Ku ampunkannya. Adakah sesiapa yang memohon rezeki daripada-Ku, akan Kukurniakan rezeki kepadanya. Adakah sesiapa yang sakit yang meminta penyembuhan, akan Ku sembuhkannya. Adakah sesiapa yang yang meminta daripada-Ku akan Ku berikan kepadanya, dan adakah begini, adakah begitu dan berlakulah hal ini sehingga terbitnya fajar”.

Diriwayatkan daripada Ibn Umar RA bahwa Rasululloh SAW bersabda, “Barang siapa membaca seribu kali surah al-Ikhlas dalam seratus rakaat solat pada malam Nisfu Sya’ban ia tidak keluar dari dunia (mati) sehinggalah ALLAH SWT mengutuskan dalam tidurnya seratus malaikat; tiga puluh daripada mereka mengkhabarkan syurga baginya, tiga puluh lagi menyelamatkannya dari neraka, tiga puluh yang lain mengawalnya daripada melakukan kesalahan dan sepuluh lagi akan mencegah orang yang memusuhinya.”

Menarik juga menyimak uraian tentang masalah itu di syariahonline.

Sedangkan khusus dalam keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban (nisfu sya’ban), memang ada dalil yang mendasarinya meski tidak terlalu kuat. Di antaranya hadits berikut ini, “Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu Sya’ban kepada hamba-hambaNya serta mengabulkan doa mreka, kecuali sebagian ahli maksiat.”

Sayangnya hadits ini tidak mencapai derajat shahih kecuali hanya dihasankan oleh sebagian orang dan didhaifkan oleh sebagian lainnya. Bahkan Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan bahwa tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu Sya’ban. Begitu juga Ibnu Katsir telah mendha’ifkan hadits yang menerangkan tentang bahwa pada malam nisfu Sya’an itu, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu hingga bulan Sya’ban tahun depan.

Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu Sya’ban itu seperti yang sering dikerjakan oleh sebagian umat Islam dengan serangkaian ritual, kami tidak mendapatkan satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat. Seperti membaca surat Yasin, shalat sunnah dua rakaat dengan niat minta dipanjangkan umur, shalat dua rakaat dengan niat agar dimurahkan rezeki dan seterusnya.

Memang praktek seperti ini ada di banyak negeri, bukan hanya di Indonesia, tetapi di Mesir, Yaman dan negeri lainnya. Bahkan mereka pun sering membaca lafaz doa khusus yang - entah bagaimana - telah tersebar di banyak negeri meski sama sekali bukan berasal dari hadits Rasulullah SAW.[]

12 Agustus 2008

ABI'L QASIM AL-JUNAYD AL-BAGHDADY

(Makam Syekh Abi'l Qasim Al-Junayd Al-Baghdady)

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumk Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Quran, surah AI-Qashash : 77)

Pada umumnya orang memahami zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tak terlalu peduli.

Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Sufi terkenal, Abul Qasim Al-Junayd Al-Baghdady (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Masa orang tidak peduli pada keadaan sekitarnya. Masa orang tidak perlu mencari nafkah bagi diri dan keluarga. Masa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri pun mengharap uluran tangan orang lain. Masa…

Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.

Berdasarkan pernahaman dan penghayatan Al-Junayd tentang zuhud ini, maka tak berlebihan kalau kemudian Al-Junayd disebut sebagai “Sufi yang moderat”. Selain itu, meski ia seorang sufi, ia tak melulu membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junayd agak beda dengan para sufi pada umumnya.

Misalnya. Al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka. (AI-Qushairy, AI-Risalah ai-Qushairiyah - Dar al-Kutub al-’Arabiyah al-Kubra. Kairo. 1912, hi. 10)

Siapa Al-Junayd?

Al-Junayd, nama lengkapnya, Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq. la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd, memang seorang pedagang barang pecah belah. Makanya, orang menjulukinya AI-Qawariri, yang artinya barang pecah belah. Al-Junayd sendiri belakangan mendapat julukan Al-Khazzaz, yang artinya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang sutera di kota Baghdad.

Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik.

Menginjak usia 20 tahun Al-Junayd belajar ilmu hadis dan fiqih kepada Abu Thawr (wafat 240 H). Abu Thawr adalah seorang faqih terkenal di Baghdad kala itu. Banyak muridnya yang kemudian menjadi ahli hukum terkemuka. Di bawah bimbingan guru ini Al-Junayd tumbuh menjadi seorang faqih yang handal. Tanda-tandanya memang sudah kelihatan sejak ia masih belajar. la sering mengemukakan pendapat tentang suatu hukum tertentu dan pendapatnya itu sangat tepat untuk berbagai persoalan fiqih (al-mas’alah al-fiqhiyah).

Kehandalan Al Junayd juga diakui oleh temannya, Ibnu Durayj (wafat 306 H), seorang faqih terkenal. Ketika ia sedang mengajar pernah ditanya oleh muridnya: “Dari mana pendapat yang demikian itu diperoleh?” Secara jujur Ibnu Duraij menjawab, “Ini merupakan hasil yang saya dapatkan ketika berdiskusi dengan Al-Junayd. Bila saya pertanyaan ini diajukan kepada saya sebelum itu, niscaya saya tidak akan dapat menjawabnya,”

Menguasai ilmu fiqih, bagi Al Junayd, mempunyai arti penting dalam upaya selanjutnya untuk menguasai ilmu tasawuf. la merasa, dengan menguasai ilmu fiqih yang luas lebih dulu, maka praktek ajaran sufisme akan tetap dapat dikontrolnya, sehingga tidak keluar dari koridor Al Ouran dan Hadis. Seperti pernah dikatakan oleh Al-Makki, setiap orang harus menguasai lebih dulu ilmu hadis dan fiqih bila ingin mendalami dan mempraktekkan ajaran tasawuf, Itu akan menghindarkan sufi dari kemungkinan tersesat, karena belum memiliki pengetahuan dasar yang kuat.

Lebih tegas lagi, Al-Junayd mengungkapkan syarat yang harus dipenuhi bila orang ingin mengajarkan tasawuf. “Saya belajar hukurn pada ulama yang dikenal luas ilmunya tentang hadis, seperti Abu ‘Ubayd dan Abu Tsaur. Kemudian saya belajar pada AI-Muhasibi dan Sari Ibn Mughallas. Itulah kunci keberhasilanku. Lantaran ilmu yang kita miliki harus terus dikontrol dan disesuaikan dengan Al Ouran dan Sunnah, Oleh sebab itu, siapa saja yang tidak menguasi ilmu Al Quran, tidak secara formal belajar hadis, dan tidak mendalami hukum sebelum menekuni tasawuf, tidaklah berhak mengajarkan tasawuf.”

Nyatanya, Al-Junayd sudah diakui sebagai seorang ahli fiqh, bahkan juga ahli tauhid (teolog). Kalau saja ia tidak mempelajari tasawuf maka ia sudah menjadi seorang faqih yang lebih terkenal. Tetapi karena kemudian ia mendalami tasawuf, akhirnya ia lebih dikenal sebagai seorang sufi. Ketika penguasa Abbasiyah melakukan mihnah (penyelidikan) terhadap setiap sufi soal kesetiaan mereka kepada pemerintah, Al-Junayd mengatakan bahwa dirinya lebih merupakan seorang faqih ketimbang sufi. Dan itu membuatnya terhindar dari mihnah tersebut..

Tak urung, ada beberapa sufi yang menjadi korban mihnah, ditangkap dan disiksa oleh penguasa, dengan tuduhan ajarannya dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan juga melawan pemerintah. Salah seorang sufi yang terkena jeratan mihnah adalah AI-Hallaj, yang pernah juga berguru pada Al-Junayd.

Seperti diketahui, AI-Hallaj mengajarkan tasawuf wihdatul wujud (Ana Al-Haqq), yang dianggap menyesatkan umat. AI-Hallaj harus menerima hukuman mati. Tapi disinyalir hukuman itu lebih bernuansa politik, karena AI-Hallaj mendukung perjuangan kaum Qaramitah yang menuntut dihapuskannya kesewenang-wenangan pemerintah.

Al-Junayd sendiri sebenarnya juga menentang kesewenang-wenangan itu. Tapi penentangannya tidak lewat gerakan politik seperti muridnya (AI-Hallaj). la hanya bersikap mengambil jarak dengan pemerintahan, misalnya menolak keterlibatan para sufi menduduki jabatan di kepemerintahan. Karena hal itu, menurut dia, hanya akan menjadi penghalang muj’ahadah dan ketekunan sufi dalam beribadah. Makanya. ketika dua temannya. Uthman AI-Makki dan Ruwayn bin Ahmad, menerima jabatan sebagai qadhi, Al-Junayd lalu memutuskan hubungan dengan mereka.

Kendati begitu, Al-Junayd tetap dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. Apalagi yang ada kaitannya dengan persoalan pemerintahan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.

Mengenai keluasan pengetahuan Al-Junayd, diakui oleh AI-Khuldi, “Sebelum ini kami belum pernah menemukan seorang Syekh yang mampu menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pengalaman sufistiknya. Banyak syekh memang memiliki ilmu yang luas. Tapi biasanya tidak mempunyai pengalaman mistik yang mendalam. Di sisi lain, ada yang mempunyai pengalaman sufistik yang mendalam, tapi hanya menguasai ilmu pengetahuan ala kadarnya. Al-Junayd memiliki keduanya. Pengalamannya mendalam di bidang sufisme dan ilmu pengetahuannya sangat luas. Bahkan ilmu pengetahuannya, nyaris melebihi pengalaman mistiknya.”

Guru dan Murid Al-Junayd

Sebelum seseorang menjadi tokoh sufi, tentulah memiliki guru dan setelah menjadi tokoh sufi, memiliki pula murid-murid. Hanya saja, guru yang mengajari Al-Junayd tentang ilmu tasawuf tidak terlalu banyak. Mereka itu adalah Sari Al-Saqati, AI-Muhasibi, Muhammad Al-Qassab, Ibn AI-Qaranbi, dan AI-Qantari.

Mengenai Al-Saqati ini - nama lengkapnya Abul al-Hasan Sari Ibn al-Mughallis al-Saqati - punya kisah menarik. Selain sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai pedagang yang saleh.

Suatu ketika, terjadi kebakaran di pasar Baghdad. Seseorang mengabarkan padanya bahwa tokonya ikut terbakar. Apa katanya?

“Biarlah. Sekarang saya justru menjadi bebas dan tidak perlu lagi mengurus barang-barang tersebut.”

Setelah api dapat dipadamkan, ternyata tokonya tidak terbakar. Sementara toko-toko di sekelilingnya ludes dilalap api.

Al Saqati talu rnembagi-bagikan semua barang dagangannya kepada para fakir iniskin. la sendiri kemudian meninggalkan usahanya untuk selanjutnya sibuk menekuni dunia tasawuf. Pamannya Al-Junayd ini belajar tasawuf kepada Abu Mahfuz Ma’ruf Ibn AI-Fairuz AI-Karkhil (wafat tahun 200 H). seorang sufi kenamaan dari Persia.

Kalau Al Saqati, paman dan guru Al-Junayd adalah orang Persia, maka Al-Muhasibi merupakan guru tasawuf Al-Junayd yang bcrasal dari keturunan Arab, namun lahir di Basrah. Sementara Muhammad AI-Qassab - Abu Ja’far Muhammad ibn All AI-Qassab (wafat 275 H) - menurut AI-Junayd: adalah guru sufi yang paling utama baginya.

Selain itu, Al-Junayd juga berguru tasawuf pada Ibn AI-Karanbi dan Al-Qantari. Yang mengesankan dari dua guru ini, hubungannya dengan Al-Junyad sangat akrab, tak tampak sebagai hubungan antara murid dan guru, Padahal, keduanya merupakan tokoh sufi terkemuka di kota Baghdad, bahkan Al-Qantari adalah teman Ma’ruf AI-Karkhi: gurunya Sari Al-Saqati.

Murid-murid Al-Junayd cukup banyak. Namun ada tiga muridnya yang paling kesohor, yakni Al-Jurayri, Al-Shibli, dan AI-Hallaj. Yang disebut terakhtr ini mengembangkan sendiri faham ittihad yang berbeda dengan faham gurunya. Bila Al-Junayd masih memberi batasan yang jelas antara Tuhan yang qadim dengan makhluk yang hadis, maka AI-Hallaj melangkah lebih jauh. Menurut AI-Hallaj, persatuan makhluk dengan Tuhan bisa terjadi secara total. Dan justru di situlah dia dipandang oleh para ulama Syariat telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sehingga la kemudian diadukan
kepada Khalifah AI-Muqtadir yang berkuasa saat itu. la pun lalu ditangkap, diadili, dan akhirnya dihukum mati,

Pemikiran Al-Junayd

Dalam pemikiran tasawuf Al-Junayd, Tuhan itu Maha Suci. KesucianNya adalah azali dan abadi. Tuhan itu suci sejak keberadaanNya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan.

Bedanya, pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan nafsu yang ada dalam tibuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi.

Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian rnenyebabkan ruh tak lagi suci seperti semula. la tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan dunia yang menipu.

Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya.

Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.

Di sini Al-Junayd ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan. Dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.

Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehencfak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.

Seperti dipaparkan oleh AI-Hujwiri soal tasawuf Al-Junayd ini. bahwa dalarn persatuan yang sesungguhnya (tauhid) tidak akan ada lagi sifat manusia yang tertinggal. Lantaran, sifat-sifat itu tidak tetap, sehingga hanya berbentuk gambar saja. Oleh sebab itu, Tuhanlah sesungguhnya yang berbuat. Semua itu sebenarnya sifat-sifat Tuhan. Karenanya, Tuhan misalnya kemudian menyuruh manusia untuk berpuasa. Bila dilaksanakan, maka Dia memberi nama Shaim pada mereka. Sehingga sekalipun secara lahir puasa itu milik manusia, tapi sesungguhnya puasa adalah kepunyaan Tuhan.

Juga untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junayd. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Sctelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus mengajak urnat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya.

Dari situ, dimaklumi, bahwa pemikiran sufisme Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid atau persaluan dengan Tuhan. Paham persatuan dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini banyak diikuti oleh para sufi lain di rnasanya dan sesudahnya

Kemoderatan Al-Junayd dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuliud misalnya. Karena. zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid.

Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kcpada duniawi - bagi para sufi - diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.

Namun dalam pemikiran Al-Junayd, zuhud adalah kosongnya tangan dari
kepemilikan dan hati dari hal yang mengikuti (ketamakan). Menurut Muhammad Amin AI-Nawai, pengertian zuhud Al-Junayd itu diartikan sebagai suatu sifat yang tidak memberatkan diri pada duniawi yang dimiliki. Sehingga tidak akan merasa berat untuk menyedekahkan dan mendermakan
hartanya pada yang lebih membutuhkannya. Jadi, zuhud dalam pikiran Al-Junayd tidak berarti harus meninggalkan dunia sama sekali.

Zuhud ala Al-Junayd ini lebih merupakan sikap seorang sufi yang tidak begitu terikat pada urusan dunia. Namun bukan berarti harus menjauhi dunia. Bahkan pemahaman itu akan melahirkan sikap kedermawanan dan suka bersedekah pada orang yang membutuhkannya. Jadi seorang zahid
boleh mencari rezeki yang halal sesuai ajaran Tuhan. Tapi setelah rnendapatkannya ia kudu menggunakannya di jalan yang benar, sesuai
petunjuk Tuhan.

Makanya, fenomena itu terlihat dari penampilan sufi Al-Junayd sehari-hari. la tidak anti-dunia. la malah berdagang di pasar Baghdad untuk memenuhi kebutuhannya, Kehidupan sehari-harinya pun dijalaninya secara wajar bahkan ia memiliki rumah yang cukup bagus dan mengenakan pakaian yang pantas, tak seperti Kebanyakan pakaian yang digunakan oleh para sufi umumnya.

Menurut Al-Junyad, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.

Kata Al-Junyad, “Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Dimana jika sudah mendapal nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jatan Allah.”

Al-Junayd tetap melaksanakan ibadah sebagaimana layaknya yang dijalani oleh para sufi. Berzikir, membaca Al Quran dan lain sebagainya. Sehingga dalam pemikiran Al-Junayd keharusan mencari nafkah tidak menjadi penghalang untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. ‘Karena, dunia tidak dibuatnya menjadi suatu kesenangan. Melainkan hanyalah sebuah pelengkap.

Itulah makanya: meski ia seorang pedagang ia tetap menomorsatukan pengabdiannya kepada Allah SWT. Di saat-saat pembeli sedang sepi, ia pun memanfaatkan waktunya untuk shalat sunah. Juga baginya tiada hari tanpa membaca Al Quran. AI-Baghdadi mengatakan, saat-saat akan meninggal Al-Junayd membaca Al Quran sampai tamat. Lalu, ketika ia memulai lagi dari surat AI-Baqarah sampai ayat ke-70, barulah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Al-Junayd meninggal pada tahun 298 H dan dimakamkan tepat di sebelah makam pamannya. Sari Al-Saqati.

Karya-Karya Al-Junayd

Al-Junayd sendiri sebenarnya termasuk seorang sufi yang tawadhu’. Saking tawadhu’nya ia malah pernah bilang kalau ajaran-ajaran sufinya tak perlu disebarluaskan. Kok begitu? la khawatlr pikiran-pikirannya itu membuat orang lupa pada ajaran Rasululullah. Kendati begitu, menurut Al-Sarraj, Al-Junaiyd pernah menulis kitab yang berjudul AI-Munajat dan Shar Shathiyat Abi Yazid AI-Bistami. Juga ada bukunya yang berjudul Tashih Ai-lradhah dan Al Rasa’il.

Al-Rasa’il selain berisi surat-surat Al-Junayd yang dikirimkannya kepada para sahabatnya, juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd sendiri berupa tulisan para muridnya ketika menerima pelajaran dari dia. Selain itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul Dawa Al-Tafit. Buku itu konon kini tersimpan di Birmingham, Inggris.

Tetapi yang jelas, ajaran-ajaran tasawuf Al-Junayd tersebar di bcberapa karya para sufi lainnya, lewat berbagai kutipan-kutipan. Imam AI-Ghazali sendiri tampaknya mengetahui ajaran Al-Junayd melalui berbagai kutipan yang terdapat dalam buku-buku tasawuf. Di dalam biografinya, AI-Ghazali mengakui bahwa ajaran-ajaran sufi yang terdapat dalam bukunya merupakan kumpulan dari ucapan Al-Junayd, Al-Shibli, dan Abu Yazid yang tersebar di beberapa buku.

Alhasil, sufi Al-Junayd telah memberikan pemikiran-pemikiran sufistiknya yang agak beda dengan para sufi kebanyakan. Baik dalam pola penampilan hidup sehari-harinya maupun dalam pandangannya soal zuhud. la memang seorang sufi yang lebih bersifat moderat. Itulah makaya banyak kalangan yang mengikuti ajaran-ajarannya. Bahkan hingga kini, narna sufi Al-Junayd dan ajarannya masih tetap melambung di deretan para sufi terkemuka.[ifud17.wordpress.com]

INFO TERKAIT:
Silsilah
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Syekh Bahaudi Nasqsabandi
Syekh Tholhah Kalisapu Cirebon
Syekh Abdul Karim Bantani
Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad
KHA Sohibulwafa Tajul Arifin

06 Agustus 2008

THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH (5)

Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah disingkat TQN secara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Dan tujuan TQN adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).

Dalam tradisi tarekat, tujuan TQN dilukiskan secara jelas dalam do'a yang diucapkan setiap orang yang hendak melakukan amalan yang maha penting, yaitu dzikrullah. Do'a dimaksud adalah sebagai berikut, "Tuhanku, engkaulah yang menjadi tujuanku dan keridhoan-Mu yang aku cari, berikanlah kepadaku kemampuan mencintai-Mu dan Ma'rifah kepada-Mu".

Dalam doa awal dzikrullah, sebagaimana tertulis di atas, terkandung substansi ajaran Islam secara mendasar: Bahwa Allah-lah yang menjadi maksud dan tujuan akhir hidup manusia. Dalam doktrin teologi Islam dijelaskan bahwa manusia pada awal kejadiannya berasal dari Allah, kini sedang berada di bumi Allah dan akhirnya akan kembali kepada Allah.

  1. Betul semua manusia akan kembali kepada Allah, tetapi apakah ia akan kembali kepada ridha Allah atau kepada azab Allah.
  2. Dalam doa tersebut selanjutnya dijelaskan bahwa keridhoan Allah-lah (mardhotillah) yang hendak dicari. Dalam aplikasinya, keridhoan Allah hanya dapat dicari dengan taqarrub. Taqarrub ila Allah artinya mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikrullah, baik dzikrullah dalam arti umum maupun dalam arti khusus. Adapun yang termasuk dzikrullah yang disebut pertama: misalnya shalat, zakat, puasa, haji, membaca Al-Qur'an atau berbagai aktivitas manusia yang dasarnya tauhidullah, berorientasi kepada ridho Allah dan dilakukan secara ikhlas karena Allah. Sedangkan yang dimaksud dzikrullah dalam arti khusus adalah mengucapkan kalimat tayyibah secara lahir batin, dengan penuh penghayatan, tadharru dan khusuk dibawah bimbingan seorang mursyid melalui talqin. Itu bisa dilakukan secara perorangan (munfarid) ataupun secara berjama'ah; diucapkan secara jahr atau khafi, dengan tujuan berada sedekat mungkin disisi Allah. Nabi Saw bersabda: "Jadilah kamu bersama Allah. Jika tidak, beradalah bersama orang yang bersama Allah".
  3. Dalam upaya menggapai maksud yang begitu luhur tadi, yaitu keridhoan Allah, seorang "salik" hendaklah berdo'a dengan do'a sebagai terlukis dalam awal ibadah dzikir tadi, "Berilah aku kemampuan, ya Allah untuk mencintai-Mu dan ma'rifah kepada-Mu". Sebab tanpa hidayah dan pertolongan Allah, mustahil seseorang mempunyai kemampuan untuk bertaqorrub kepada-Nya, lebih-lebih dapat sampai kepada keridhoan-Nya. TQN, sebagai ajaran, bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah ajaran yang kemunculannya identik dengan kemunculan Islam itu sendiri, yaitu "Thauhidullah", mengesakan Allah. Doktrin ini kemudian ditanamkan oleh Mursyi Al-Awwal, yaitu Nabi Saw, didalam hati setiap sahabat, lalu dihayati dirasakan dan buahnya dibuktikan dalam aktifitas kehidupan kesehariannya secara seimbang. Dalam term tasawuf, orang yang mampu mengaplikasikan tauhidullah dalam kehidupannya secara seimbang disebut Insan Kamil (Manusia Paripurna).

Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam TQN, yaitu kesempurnaan Suluk, Adab Murid terhadap Mursyid, Dzikir dan Muraqah. Tetapi inti ajaran TQN adalah Muroqobah artinya mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amalan dan riyadhah; yang paling prinsip adalah dengan cara berdzikir, sebagaimana sabda Imam Ali "cara terbaik dan tercepat untuk sampai kepada Allah adalah Dzikrullah". Dzikir dalam TQN dilakukan setelah melaksanakan Ibadah Wajibah.

Ibadah Wajibah merupakan penjabaran Syari'ah sedangkan dzikir merupakan pengamalan aspek bathin dari syari'ah yang dalam tasawuf disebut thoreqat. Syari'at dan Tarekat keduanya diamalkan secara seimbang dalam upaya mencari hakikat. Ketika para sahabat bertanya kepada Abdullah bin Abbas mengenai interpretasi firman Allah, "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku; nanti Aku pun ingat kepadamu". Ia Menjawab: "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku dengan jalan Taat kepada-Ku; nanti Aku ingat kepadamu dengan pertolongan-Ku". Senada dengan pernyataan diatas, Sa'id bin Jubair mengatakan: "Ingatlah kepada-Ku dengan cara taat kepada-Ku; Aku pun ingat kepadamu dengan ampunan-Ku", sementara sebagian sahabat berpendapat; "Dzikirlah kalian kepada-Ku sewaktu mendapatkan Nikmat dan Kebahagiaan, Niscaya Aku ingat kepadamu ketika kamu dalam kesulitan dan cobaan".

Mengapa Dzikir begitu prinsip dalam TQN? Jawabannya, betapa banyak ayat Al-Qur'an yang menguatkan kedudukan dzikir; bahwa dzikir merupakan perkara yang paling besar. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Sholat harus bisa mencegah dari perbuatan Fakhsyah dan Munkar, dan sesungguhnya dzikir kepada Allah Swt lebih besar dan Allah Swt amat mengetahui apa yang kamu perbuat". (QS. Al Ankabut: 45)

Menurut orang-orang yang ma'rifat, paling tidak ada empat prinsip tentang interpretasi ayat diatas;

  • Pertama, Sesungguhnya dzikir kepada Allah lebih besar daripada segala sesuatu. Ia adalah ketaatan yang paling utama; yang dimaksud taat disini adalah menegakan dzikir kepada Allah, sedangkan dzikir adalah rahasia ketaatan dan daya ketaatan itu sendiri.
  • Kedua, Sesungguhnya kamu sekalian, kaum muslimin, jika ingat kepada-Nya, maka Allah pun ingat kepadamu; sedangkan dzikir Allah kepadamu lebih besar daripada dzikir kamu kepadanya.
  • Ketiga, Sesungguhnya Dzikir kepada Allah lebih besar daripada tetapnya "Fakhisyah" dan "kemungkaran, bahkan jika dzikir dibaca secara sempurna, ia akan dapat menghilangkan segala kesalahan dan maksiat.
  • Keempat, Sesungguhnya amal sholeh, apabila ingin diterima oleh Allah, harus diakhiri dengan dzikir dan pujian. Menurut Pangersa Abah, sebagai dikutip Djuhayah S. Praja, Taqarrub illa allah merupakan inti ajaran tasawuf (TQN) dengan cara mensucikan jiwa (tasfiyat al qulub). Dengan hati yang suci seorang Salik mungkin dapat meihat Tuhannya.

Selanjutnya, dijelaskan bahwa TQN adalah salah satu metode untuk mencapai tujuan tasawuf, tujuan dari suatu inti keberagamaan, dengan kata lain, Abah memandang TQN bukan satu-satunya jalan pencapai tujuan "ini berarti" demikian analisis djuhaya, "Abah menghormati tarekat-tarekat yang lain". Secara vertikal, TQN membawa manusia kepada Tuhan dan secara seharusnya hidup secara bersama dalam sosial kemasyarakatan. Tanbih mengandung ajaran Moral, menyangkut pelbagai kehidupan. Pandangan TQN menyangkut hubungan dengan Negara, misalnya, dapat dilihat dalam uraian tanbih sebagai berikut: "Adapun kami tempat bertanya tentang Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, menghaturkan dengan tulus ikhlas, wasiat kepada segenap murid-murid; berhati-hatilah dengan segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan peraturan Agama maupun Negara. Insafilah, jangan terpengaruh oleh godaan syaitan, waspadailah akan jalan penyelewengan terhadap perintah Agama maupun Negara, agar dapat meneliti diri kalau tertarik oleh biskan iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita".

Pandangan TQN mengenai Hubungan Sosial Kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian tanbih berikut ini:

  1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita baik dhohir maupun batin harus kita hormati, begitulah seharusnya, hidup rukun saling harga-menghargai;
  2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya: "'Adzabun Alim", yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (badan payah, hati susah);
  3. Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersifat angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan;
  4. Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.

Demikianlah sesungguhnya sikap manusia yang penuh keadaran meskipun kepada orang asing karena mereka itu masih keturunan Nabi Adam As. Mengingat ayat 70 Surat al-Isra yang artinya: "Sangat Kami muliakan keturunan Nabi Adam dan Kami sebarkan segala yang berada didarat dan lautan, juga Kami mengutamakan mereka lebih utama dari mahluk lainnya". Kesimpulan dari ayat ini bahwa kita sekalian seharusnya saling harga menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat surat al Maidah yang artinya: "Hendaklah tolong menolong dengan sesama dan dalam melaksanakan kebajikan dan ketakwaan dengan sungguh-sungguh terhadap Agama maupun Negara, sebaliknya jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah Agama maupun Negara".

Keempat materi tanbih diatas menjelaskan kepada kita bagaimana model ideal interaksi antar kita dengan orang yang lebih tinggi dari kita, dengan sesama dalam arti yang sederajat dalam segalanya, dengan orang yang ada dibawah kita dan dengan fakir miskin. Tanbih menjelaskan bahwa kedamaian lahir bathin akan terwujud ditengah-tengah masyarakat manakala masing-masing individu berpegang teguh terhadap etika sosial; sebagaimana digambarkan dalam tanbih tadi.

Dalam sebuah hadist dijelaskan: "Bukanlah dari golonganku orang yang tidak sayang kepada yang ada dibawahnya dan tidak menaruh hormat kepada orang yang ada diatasnya". Lebih dari itu, Tanbih juga membuat patokan bagaimana seharusnya sikap kita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan orang asing, baik yang seagama dengan kita maupun yang tidak seagama. Kita harus tetap saling hormat menghormati, harga menghargai Tepo Seliro.

Menyangkut Hubungan dengan Non Muslim lebih jelas lagi, tanbih menegaskan seperti berikut: "Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat Al Kafirun ayat 6: 'Agamamu untuk kamu, Agamaku untuk ku', maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tapi janganlah ikut campur". Tanbih menggariskan adanya toleransi beragama, sejauh tidak melanggar etika teologis. Jangan karena alasan toleransi, keyakinan di korbankan.

Oleh karena itu, dalam urusan agama janganlah kita ikut-ikutan, tetapi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun politik, kita menyatu secara damai dan toleran. Selanjutnya Tanbih menjelaskan, "Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari perbuatan diri sendiri". Pernyataan Tanbih diatas, disamping mengandung ajaran moral dan akhlak, mengandung pula ajaran teologi. Ketika seseorang dituntut untuk bersikap dan berprilaku terhadap fakir miskin, maka ia harus bersikap jabbariyah. Akan tetapi, ketika melihat kenyataan kehancuran sekelompok manusia yang tidak bersyukur, ada tuntutan untuk bersikap khodariyah. Kehancuran dan kehinaan manusia karena ulahnya sendiri, bukan kehendak Allah.

Bagian akhir tanbih menyatakan: "Oleh karena demikian, hendaklah segenap murid-murid bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan lahir dan batin dunia maupun akhirat, supaya hati tentram. jasad aman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya: Budi utama jasmani sempurna ( Cageur Bageur ). Tidak lain amalan kita, Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai kebajikan, menjauhi segala kejahatan lahir batin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan". Kebahagiaan lahir batian, bagi manusia beriman, khususnya para ikhwan TQN, adalah mengamalkan ajaran TQN secara sungguh-sungguh. Inti ajarannya, sebagai terlah diungkap dalam bab sebelumnya adalah dzikir. Segala amalan yang telah baku di lingkungan TQN yang sifatnya nafilah disebut dzikir. Kumpulan dzikir-dzikir yang biasa dibaca setiap kali khataman telah dituangkan oleh Mursyid kita dalam sebuah risilah yang di beri nama Uqud Al-juman.[qalbu.net]

INFO TERKAIT:
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (1)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (2)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (3)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (4)

THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH (4)

Meskipun ada sementara pendapat bahwa agama Islam sudah masuk di Indonesia pada abad ke-7/8 M, namun berdasarkan bukti-bukti historis yang kuat, kelompok-kelompok masyarakat Islam baru berkembang sejak abad ke-13 M, yaitu abad perkembangan tarekat yang pesat di Dunia Islam. Akan tetapi, sampai sekarang belum jelas bagaimana peranan tarekat-tarekat dalam penyiaran Islam di Indonesia pada masa pertama penyebarannya.

Secara terpisah, Tarekat Qadiriyyah sudah mulai menyebar ke Indonesia pada abad ke-16 M. Menurut Rinkas, Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang pengikut tarekat Qadiriyyah dan berusaha menyebarkannya ke daerah-daerah yang dikunjunginya sampai ke Jawa. Sebaliknya Tarekat Naqsyabandiyyah menurut Trimingham masuk ke Indonesia melalui Mekah. Pada tahun 1840 M, seorang Syekh berasal dari Minangkabau diresmikan menjadi pemimpin tarekat Naqsyabandiyyah yang pertama untuk Indonesia. Selanjutnya, Tarekat Naqsyabandiyyah berkembang pesat di Nusantara. Menurut Hawash Abdullah ada dua versi tarekat Naqsyabandiyyah yang tersebar di kawasan ini, yaitu Naqsyabandiyyah al-Khalidiyah yang dipelopori oleh Syekh Ismail ibn Abdillah Al-Khalidi dan Naqsyabandiyyah Muzhariyah yang dipelopori oleh Sayid Muhammad Saleh al-Zawawi. Di Jawa pada abad ke-19 menurut Kartono Kartodiharjo, tarekat Naqsyabandiyyah merupakan tarekat yang paling banyak pengikutnya melebihi tarekat-tarekat Qadiriyyah dan Syatariyyah.

Penyebaran Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu sejak tibanya kembali murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi di tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, TQN disebarkan oleh dua orang muridnya; Syekh Nuruddin (berasal dari Filipina) dan Syekh Muhammad Sa'ad (putra asli Sambas). Karena penyebaran tarekat ini tidak melalui semacam lembaga pendidikan formal seperti pesantren, maka TQN hanya tersebar di kalangan orang awam sehingga tidak memperoleh kemajuan yang berarti. Lain halnya di pulau Jawa, TQN disebarkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya, maka perkembangannya pun pesat sekali sehingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan berpengaruh dikawasan ini.

Syekh Abdul Karim dari Banten merupakan ulama berjasa dalam penyebaran TQN di Jawa. Dia murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi pendiri TQN di Mekah. Dialah yang diangkat gurunya (Khatib Sambas) untuk menggantikan kedudukan sebagai pemimpin tertinggi Tarekat Qadiriyyah di kota suci Mekah sepeninggalnya pada tahun 1875 M. Syekh Abdul Karim pun mematuhi pengangkatan tersebut dan dia pun berangkat ke Mekah pada tahun 1876 M.

Syekh Khatib Sambas memang banyak mempunyai murid yang berasal dari Nusantara. Karenanya, TQN tersebar di berbagai daerah seperti; Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura dan Banten. Kecuali Madura, semua pengikut TQN di daerah-daerah tersebut mendapat bimbingan dari Syekh Abdul Karim. Di Madura pemimpin TQN adalah Syekh 'Abdadmuki, putra asli.

Syekh Abdul Karim tiba kembali ke Banten pada awal tahun 1870-an, sebelumnya dia mampir di Singapura dalam perjalanan pulang dari Mekah setelah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Setibanya di Banten dia mendirikan pesantren, yang sekaligus dijadikan pusat penyebaran TQN di daerah trsebut. Karenanya, tarekat Qadiriyyah yang diduga sudah ada di Banten sejak ke-16 M dengan kedatangan Syekh Hamzah Fansuri di daerah ini, mendapat angin segar sehingga TQN berkembang pesat. Malah kedatangan Syekh Abdul Karim di Banten juga berhasil mempersatukan para ulama dan pesantren-pesantren di daerah tersebut dan mengobarkan semangat anti penjajahan, yang akhirnya bermuara pada pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888 M yang terkenal itu. Dia dianggap sebagai salah seorang dari tiga ulama yang berperan dalam mencetuskan pembrontakan rakyat tersebut meskipun pada tahun itu dia berada di Mekah dalam statusnya sebagai pemimpin tertinggi Tarekaot Qadiriyyah Naqsyabandiyyah menggantikan gurunya Syekh Khatib Sambas.

Menurut Dhofier, lima pondok pesantren di Jawa yang sekarang menjadi pusat penyebaran TQN di Indonesia, semuanya menelusuri silsilahnya kepada Syekh Abdul Karim. Kelima pondok pesantren tersebut adalah;

  1. Pesantren Pegentongan di Bogor (Jawa Barat)
  2. Pesantren Suryalaya di Tasimalaya (Jawa Barat)
  3. Pesantren Mranggen di Semarang (Jawa Tengah)
  4. Pesantren Rejoso di Jombang (Jawa Timur)
  5. Pesantren Tebuireng di Jombang (Jawa Timur)

Adapun pesantren Suryalaya didirikan oleh Syekh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad pada tanggal 7 Rajab 1323 H (5 September 1905 M). Beliau menerima TQN dari gurunya, Syekh Ahmad Tholhah di Cirebon, yang menerima dari Syekh Abdul Karim Banten. Setelah merasa tua dan uzur Syekh Abdullah Mubarak menyerahkan pimpinan pesantren dan TQN kepada putra beliau; Syekh A. Sahahibilwafa Tadjul 'Arifin (yang terkenal dengan sebutan; Abah Anom), pemimpin pesantren Suryalaya sekarang ini. Pada masa kepemimpinan beliau inilah TQN menyebar luas ke seluruh pelosok Indonesia, malah sampai ke berbagai negara Asean, seperti; Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Demikianlah asal-usulnya, di kota suci umat Islam Mekah al-Mukarramah, Tarekat Qadiriyyah dan Tarekat Naqsyabandiyyah menyatu dalam diri seorang mursyid dengan nama baru Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN). Dari kota suci inilah pula tarekat baru tersebut memancar ke Nusantara, tanah air tercinta.[qalbu.net]

INFO TERKAIT:
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (1)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (2)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (3)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (5)

PRAKTIK AMALIYAH

Seorang pengamal TQN harus membuktikan kebajikan yang timbul dari kesucian, sebagai berikut:

  1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita baik dhohir maupun batin harus kita hormati, begitulah seharusnya, hidup rukun saling harga-menghargai.
  2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya: "'Adzabun Alim", yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (badan payah, hati susah).
  3. Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersifat angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan.
  4. Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.

Disamping itu seorang pengamal TQN harus mengamalkan wasiat dari Guru Mursyid antara lain:

  • Jangan membenci kepada ulama yang sezaman
  • Jangan menyalahkan kepada pengajaran orang lain
  • Jangan memeriksa murid orang lain
  • Jangan merubah sikap meskipun disakiti orang
  • Harus menyayangi orang yang membenci kepadamu

Juga kepada segenap pengamal TQN agar dapat menjaga keseragaman pengamalan (amaliah) baik harian, mingguan (khataman) maupun bulanan (manaqiban) sebagai berikut;

  1. HARIAN, dzikir berjama'ah dengan tertib, tidak tergesa-gesa, menjaga suara agar tidak saling mendahului.
  2. MINGGUAN, Khataman yang berisi tawassul dan membaca aurod-aurod serta do'a-do'a.
  3. BULANAN, Manakib dengan tata tertib sebagai berikut:
    • Pembacaan ayat suci Al-Qur'an
    • Pembacaan Tanbih
    • Tawassul
    • Pembacaan Manakib Syekh Abdul Qadir Jailani QS
    • Ceramah amaliah
    • Penutup

SILSILAH

Allah SWT
Jibril as
Rasulullah Muhammad saw

Ali k.w.h


2



Abu Bakar ash Shiddiq

Hussayn r.a


3



Salman al Farisi

Zayn al Abidin


4



Qasim b. Muhammad b. Abi Bakar

Muhammad Baqir


5



Ja'far Shadiq

Ja'far Shadiq


6



Bayazid Tayfur al Bistami

Musa al-Kazhimi


7



Abu'l Hasan al Kharqani

Abu al - Hasan Ali ibn Musa


8



Abu Ali farmadi

Ma'ruf al-karkhi


9



Abu Yusuf Hamdani

Sarri Saqathi


10



Abdul Khaliq Ghujdawani

Abu al-Qasim al-Juanydi al-Baghdadi


11



Muhammad Arif Riwagiri

Abu Bakar Dilfi Syibli


12



Mahmud Abdulkhayr Faghnawi

Abu Faddl Abd. Wahid at Tamimi


13



Azizan Ali Ramitani

Abu al Faraj at Thusy


14



Muhammad Baba Sammasi

Abu al Hasan Ali ibn Yusuf al-Qirsyi


15



Amir Kuallal

Abu Said ibn Ali al Mazhumi


16



Shah Muhammad Bahaudin al Uwaysi

Abdul Qadir al Jaylani


17



Ala'uddin Muhammad Attar

Abdul Aziz


18



Ya'kub Harqi

Muhammad al Hattak


19



Nashruddin Ubaydillah Ahrar

Syamsyuddin


20



Muhammad Zahidi

Syarafuddin


21



Darwis muhammad Baqi Billah

Nuruddin


22



Imam Rabbani Ahmad Faruqi Sirhindi

Waliyuddin


23



Muhammad Ma'shum Srihindi

Hisyamuddin


24



Safruddin Arif Muhmmad

Yahya


25



Nur Muhammad Badawu

Abu Bakar


26



Syamsuddin Habibullah jan I Janan

Abdur Rahman


27



Abdullah ad Dihlawi

Utsman


28



Abu Said al ahmadi

Abdul Fatah


29



Ahmad Said

Muhammad Murad


30



M. Jan al Makkiy

Syamsuddin


31




Khalid Hilmi

Ahmad Khatib Sambasi


32




Tholhah Kalisapu Cirebon


33




Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad (Abah Sepuh)


34




Achmad Shahibul Wafa' Tajul Arifin (Abah Anom)



35