Maulana Syekh Muhammad Nazim Adil telah menjelaskan bahwa setelah terorisme, permasalahan terbesar umat manusia kedua adalah penyalahgunaan narkotika oleh generasi muda (The Muslim Magezine, Spring 1999). Permasalahan sosial ini bukan hanya dialami oleh bangsa Barat, tetapi juga menimpa kalangan generasi muda seluruh dunia. Walaupun jumlah korban narkoba di negara-negara Asia tidak sebesar di Barat, tetapi permasalahan ini menarik perhatian yang sangat serius bagi Mbah Anom untuk mendirikan Pondok Inabah, pusat rehabilitasi korban narkoba dengan dzikir sebagai obatnya.
Metodologi Mbah Anom didasarkan pada hasil pengalaman spiritual beliau sebagai seorang sufi dan kepercayaannya bahwa dzikrullah mengandung pencahayaan/penerangan, karakter khusus dan rahasia yang dapat mengobati muslim yang mempercayainya. Hal ini didasarkan pada firman Allah: "Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingatmu". Jasa dan keuntungan dari dzikir di Pondok Pesantren Suryalaya dapat dirasakan sebagian masyarakat yang telah pergi berobat ke sana.
Penelitian terhadap metodologi Mbah Anom pernah dilakukan Dr. Emo Kastomo pada tahun 1989. Dia melakukan evaluasi secara random terhadap 5.929 orang pasien di 10 Pondok Inabah. Dan hasilnya, 5.426 orang sembuh, 212 orang dalam proses menuju sembuh, dan 7 orang pasien meninggal dunia.
Ada tiga keikutsertaan pengikut Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah dalam usaha mancapai Indonesia merdeka, yaitu: Pertama, keikutsertaan para Syekh dan haji di Banten pada revolusi Juli 1888. Dilaporkan, Syekh Abd al-Karim Banten tidak tertarik dengan akivitas politik, namun penggantinya Haji Marzuki lebih berpikiran reformis dan sangat antiBelanda. Walaupun Thoriqah tidak memimpin dalam revolusi, tetapi Belanda khawatir dengan pengaruhnya, dan sebagian besar diantara mereka meyakini, secara umum pengikut sufi khususnya Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah merupakan organisasi yang mempunyai tujuan untuk mengalahkan kekuatan kolonial.
Kedua, perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah Syekh Guru Bangkol. Belanda mempertimbangkan, Thoriqah merupakan faktor terpenting timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Walaupun penasehat Pemerintah Belanda Snouck Hurgrounje memberikan masukan bahwa terlalu berlebihan untuk menilai Thariqat sebagai usaha politik untuk melawan Belanda, pendapatnya tersebut tidak dindahkan sampai muncul Syarikat Islam, sebuah organisasi politik yang berdiri pada tahun 1911.
Ketiga, sekarang di Jawa ada tiga cabang terbesar Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah, yaitu Rejoso, Mranggen, dan Suryalaya, masing-masing memberikan dukungan terhadap partai-partai politik, di mana beberapa di antara mereka terlibat aktif dalam partai politik.
Pada tahun 1957, Jam'iyyah Ahl Thariqah Mu'tabarah didirikan Nahdlatul Ulama, yang pada saat itu juga berbentuk partai. Tujuannya adalah untuk menyatukan semua kekuatan Thariqat dan memelihara silsilah yang dimulai dari Nabi Muhammad Saw. Jam'iyyah ini memelihara dan mengajarkan ajaran tasawuf dari 45 kekuatan Thoriqah yang pernah ada pada tahun 1975. Syekh Mustain Romly dari Rejoso diangkat sebagai pimpinan Jam'iyyah ini. Pada tahun 1979, ketika Syekh Mustain Romli merubah afiliasi politiknya dari Partai Persatuan Pembangunan ke Golkar, para Ulama mendirikan Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Nahdliyyah.
Pimpinan Jam'iyyah ini adalah Syekh Haji DR. Idham Kholid, dimana pada saat itu pernah menyambut kedatangan Syekh Muhammad Hisham Kabbani dari Naqsabandi Amerika Serikat pada bulan Desember 1977. Syekh Hisham Kabbani juga datang kemabali ke Indonesia ke acara the International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang diselenggarkan Nahdlatul Ulama Februari 2004.[]
INFO TERKAIT:
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (1)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (2)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (4)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar