30 Juli 2008

SYEKH ACHMAD KHATIB SAMBASI IBN ABD GHAFFAR

Syekh Ahmad Khatib Sambasi dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat. Beliau memutuskan untuk pergi menetap di Makkah pada permulaan abad ke-19, sampai beliau wafat pada tahun 1875. Diantara guru beliau adalah Syekh Daud ibn Abdullah al-Fatani, seorang syekh terkenal yang berdomisili di Makkah, Syekh Muhammad Arshad al-Banjari dan Syekh Abd al-Samad al-Palimbani.

Menurut Naquib al-Attas, Khatib Sambas adalah Syekh Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa beliau adalah salah satu guru dari Syekh Nawawi al-Bantani, yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu Islam.

Zamakhsari Dhafir menyatakan bahwa peranan penting Syekh Sambas adalah melahirkan Syekh-Syekh Jawa ternama dan menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia pada pertengahan abad ke-19. Kunci kesuksesan Syekh Sambas ini adalah bahwa beliau bekerja sebagai fath al-Arifin, dengan mempraktekkan ajaran sufi di Malaysia yaitu dengan bay'a, zikir, muraqabah, silsilah, yang dikemas dalam Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah.

Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syekh Sambasi melalui ajaran-ajarannya setelah beliau kembali dari Makkah. Dikatakan, Syekh Sambasi merupakan ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, di antaranya Syekh Abd al-Karim Banteni. Abd al-Karim terkenal sebagai Sulthan al-Syekh, beliau menentang keras imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syekh Sambasi.

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, mereka menyatakan sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut Sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syekh Sambasi adalah sebagai seorang ulama, dimana tuduhan penulis Eopa tersebut tidak tepat ditujukan kepada beliau. Syekh Sambasi dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan Syekh-Syekh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syekh Tolhah Kalisapu bin Tallabudi dari Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dimana mereka berdua pernah menetap di Makkah.

Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan pada akhir abad ke-19 Thariqat ini menjadi sangat terkenal. Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah tersebar luas melalui Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalaam.

Pada tahun 1970, ada 4 tempat penting sebagai pusat Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di pulau Jawa yaitu: Rejoso (Jombang) di bawah bimbingan Syekh Romli Tamim, Mranggen (Semarang) di bawah bimbingan Syekh Muslih, Suryalaya (Tasikmalaya) di bawah bimbingan Syekh Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Mbah Anom), dan Pagentongan (Bogor) di bawah bimbingan Syekh Thohir Falak. Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah, Suryalaya mewakili garis aliran Syekh Tolhah dan yang lainnya mewakili garis aliran Syekh Abd al-Karim Banten dan penggantinya.

Pada prakteknya, ajaran Thariqat disampaikan melalui ceramah umum di masjid atau majelis ta'lim di rumah salah satu anggota Thariqat. Sehingga tidak mengagetkan jika selama masa ceramah umum, tidak ada materi yang terekam dengan cermat. Bagaimanapun juga, di bawah bimbingan Mbah Anom, mempunyai kontribusi yang besar, dimana ajaran thariqat dibukukan dalam sebuah kitab berjudul Miftah ash-Shudur. Tujuan dari kitab ini adalah untuk mengajarkan teori dan praktek Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah sebagai usaha mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Hasil usahanya yang lain terkemas dalam kitab Uqud al-Juman, al-Akhlaq al-Karimah, dan buku Ibadah sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja.[]

INFO TERKAIT:
Silsilah
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Syekh Bahaudi Nasqsabandi
Syekh Abul Qasim Al-Junayd AL-Baghdady
Syekh Tholhah Kalisapu Cirebon
Syekh Abdul Karim Bantani
Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad
KHA Sohibulwafa Tajul Arifin

THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH (3)

Maulana Syekh Muhammad Nazim Adil telah menjelaskan bahwa setelah terorisme, permasalahan terbesar umat manusia kedua adalah penyalahgunaan narkotika oleh generasi muda (The Muslim Magezine, Spring 1999). Permasalahan sosial ini bukan hanya dialami oleh bangsa Barat, tetapi juga menimpa kalangan generasi muda seluruh dunia. Walaupun jumlah korban narkoba di negara-negara Asia tidak sebesar di Barat, tetapi permasalahan ini menarik perhatian yang sangat serius bagi Mbah Anom untuk mendirikan Pondok Inabah, pusat rehabilitasi korban narkoba dengan dzikir sebagai obatnya.

Metodologi Mbah Anom didasarkan pada hasil pengalaman spiritual beliau sebagai seorang sufi dan kepercayaannya bahwa dzikrullah mengandung pencahayaan/penerangan, karakter khusus dan rahasia yang dapat mengobati muslim yang mempercayainya. Hal ini didasarkan pada firman Allah: "Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingatmu". Jasa dan keuntungan dari dzikir di Pondok Pesantren Suryalaya dapat dirasakan sebagian masyarakat yang telah pergi berobat ke sana.

Penelitian terhadap metodologi Mbah Anom pernah dilakukan Dr. Emo Kastomo pada tahun 1989. Dia melakukan evaluasi secara random terhadap 5.929 orang pasien di 10 Pondok Inabah. Dan hasilnya, 5.426 orang sembuh, 212 orang dalam proses menuju sembuh, dan 7 orang pasien meninggal dunia.

Ada tiga keikutsertaan pengikut Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah dalam usaha mancapai Indonesia merdeka, yaitu: Pertama, keikutsertaan para Syekh dan haji di Banten pada revolusi Juli 1888. Dilaporkan, Syekh Abd al-Karim Banten tidak tertarik dengan akivitas politik, namun penggantinya Haji Marzuki lebih berpikiran reformis dan sangat antiBelanda. Walaupun Thoriqah tidak memimpin dalam revolusi, tetapi Belanda khawatir dengan pengaruhnya, dan sebagian besar diantara mereka meyakini, secara umum pengikut sufi khususnya Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah merupakan organisasi yang mempunyai tujuan untuk mengalahkan kekuatan kolonial.

Kedua, perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah Syekh Guru Bangkol. Belanda mempertimbangkan, Thoriqah merupakan faktor terpenting timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Walaupun penasehat Pemerintah Belanda Snouck Hurgrounje memberikan masukan bahwa terlalu berlebihan untuk menilai Thariqat sebagai usaha politik untuk melawan Belanda, pendapatnya tersebut tidak dindahkan sampai muncul Syarikat Islam, sebuah organisasi politik yang berdiri pada tahun 1911.

Ketiga, sekarang di Jawa ada tiga cabang terbesar Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah, yaitu Rejoso, Mranggen, dan Suryalaya, masing-masing memberikan dukungan terhadap partai-partai politik, di mana beberapa di antara mereka terlibat aktif dalam partai politik.

Pada tahun 1957, Jam'iyyah Ahl Thariqah Mu'tabarah didirikan Nahdlatul Ulama, yang pada saat itu juga berbentuk partai. Tujuannya adalah untuk menyatukan semua kekuatan Thariqat dan memelihara silsilah yang dimulai dari Nabi Muhammad Saw. Jam'iyyah ini memelihara dan mengajarkan ajaran tasawuf dari 45 kekuatan Thoriqah yang pernah ada pada tahun 1975. Syekh Mustain Romly dari Rejoso diangkat sebagai pimpinan Jam'iyyah ini. Pada tahun 1979, ketika Syekh Mustain Romli merubah afiliasi politiknya dari Partai Persatuan Pembangunan ke Golkar, para Ulama mendirikan Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Nahdliyyah.

Pimpinan Jam'iyyah ini adalah Syekh Haji DR. Idham Kholid, dimana pada saat itu pernah menyambut kedatangan Syekh Muhammad Hisham Kabbani dari Naqsabandi Amerika Serikat pada bulan Desember 1977. Syekh Hisham Kabbani juga datang kemabali ke Indonesia ke acara the International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang diselenggarkan Nahdlatul Ulama Februari 2004.[]


INFO TERKAIT:
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (1)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (2)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (4)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (5)

THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH (2)

Dua pengikut aliran sufi terbesar di dunia, yaitu Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah, kedua-duanya terdapat di Indonesia. Tidak diketahui secara pasti bagaimana paham Qadiriyyah datang ke Indonesia. Tetapi Naguib al-Attas memberitahukan bahwa penyair Hamzah Fansuri (Sumatera Utara) adalah pengikut Thariqat Qadiriyyah.

Telah diketahui, bahwa rujukan pengikut Qadiriyyah adalah Syekh Abd al-Qâdir al-Jaylânî, sebagaimana ditemukan dalam puisi Fansuri, yang berdomisili di Aceh pada pertengahan abad 16. Sebagai tambahan, dalam prosa Fansuri tertulis Syekh Sufi terkenal seperti Abû Yazid al-Bustamî, Junayd al-Baghdâdi, Manshûr al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Ibn Arabi, Jami Attar, dan beberapa Syekh lainnya.

Diungkapkan bahwa orang pertama yang memperkenalkan Qadiriyyah adalah Syekh Yusuf Makassar (1626-1699). Guru Qadiriyyahnya, Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad al-Hamid, seorang imigran dari Gujarat bersama pamannya Nur al-Dîn al-Raniri. Di Yaman, Syekh Yusuf belajar ajaran Naqshabandiyyah dari Syekh terkenal dari Arab, Muhammad Abd al-Baqi. Sufi lainnya dari Aceh, Abd al-Rauf al-Sinkili, yang belajar di Madinah pada pertengahan abad 17 di bawah bimbingan Syekh Ahmad al-Qushashi dan Ibrahim al-Qurani, dimana mereka merupakan Guru Paham Qadariyyah.

Lombard menginformasikan kepada kita, asal muasal Thariqat Naqsabandiyyah di Indonesia, ditunjukkan dengan pernyataan L.W.C van den Berg; ketika dia datang aktivitas Thariqat Naqsabandiyyah telah ada di Aceh dan Bogor, di mana dia menyaksikan dzikir Naqsabandiyyah sebagai aktivitas utama. Kemudian dia menggambarkan kedatangan Thariqat Naqsabandiyyah di wilayah Medan, tepatnya di Langkat.

Penulis berikutnya menggambarkan bahwa Syekh Abd al-Wahhab Rokan al-Khalidi al-Naqshabandi memperkenalkan Naqsabandiyyah ke Riau. Setelah menghabiskan waktu selama 2 tahun di Malaysia dalam rangka berdagang, beliau pergi ke Makkah dan belajar di bawah bimbingan Syekh Sulaiman al-Zuhdi. Pada tahun 1845, beliau mendapatkan sertifikat dan kembali ke Riau kemudian mendirikan perkampungan Thariqat Naqsabandiyyah dengan nama Bab al-Salâm. Pada abad ke-19, Thariqat Naqshabandiyyah mempunyai cabang di Makkah, menurut Trimingham, salah satu Syekh Naqshabandiyyah dari Minangkabau (Sumatera Barat) juga aktif pada tahun 1845. Dari Makkah, Thariqat Naqshabandiyyah tersebar luas ke berbagai negara termasuk ke Indonesia, melalui jamaah haji setiap tahun. Kedua Thariqat tersebut muncul pada abad ke-7 dan 8 Hijriyyah (abad ke-12/13 Masehi).

Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para pengikut kedua Thariqat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Survey tentang sejarah Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktek-praktek Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia. Selanjutnya, Syekh Sambas tidak mengajarkan kedua Thariqat ini secara terpisah, tetapi dalam satu kemasan (penggabungan kedua Thariqat).[]

INFO TERKAIT:
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (1)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (3)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (4)
Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (5)