29 Desember 2008

AMALIYAH BULANAN DZULHIJAH 1429 HIJRIAH


Menutup rangkaian tahun 1429 Hijriah, para ikhwan sohibul MANFAAT menggelar amalaiyah bulanan pada 28 Desember lalu. Puluhan ikhwan berdatangan dari berbagai tempat, termasuk Karawang. Dan, kemarakan menjadi terasa karena masih dalam suasana "kangen-kangenan" dengan KHM Siradjuddin Ruyani yang baru saja kembali dari Tanah Suci. Usai acara, Ustadz Sirod -- begitu ia dipanggil -- langsung mentalqin sejumlah ikhwan baru.


Para ikhwan mengikuti acara manaqib dengan khusyu.


Para ikhwan membeludak hingga halaman mushalla. Tapi, tetap khusyu.


Para ikhwan baru atau lama (ingin kangen dengan talqin) tengah ditalqin Ustadz Sirod.

AMALIYAH BULANAN DI KORWIL KARAWANG

Saban Sabtu malam minggu ke-4, para ikhwan di Karawang menyelenggarakan amaliyah bulanan. Seperti biasa, acara digelar di sekretariat Yayasan yang juga rumah Ketua Yayasan, Ustadz Dadang Sudrajat, di Kawasan Perumnas Bumi Teluk Jambe, Teluk Jambe Timur, Karawang, dan dihadiri puluhan ikhwan dari berbagai wilayah di Karawang. Kali ini, Wakil Talwin daru Tangerang KHM Siradjuddin Ruyani ikut mengawal acara.

Maka, di tengah keremangan malam Karawang dan sepoi angin yang bikin ngantuk, tradisi bulanan itu berlangsung dengan kekhusyuan. "Bersyukurlah dengan dzikir yang diijazahkan Guru Mursyid kepada kita. Karena, saya merasakan sekali manfaatnya ketika berada di Tanah Suci," kata Ustadz Sirod -- panggilan Wakil Talqin dari Tangerang itu.

Sekitar satu jam, Ustadz Sirod mengurai ceramah ilmiah yang didominasi seluruh pengalamannya berhaji. Alhamdulillah, kado dari Mekah memang benar-benar terasa. Sebelumnya, Ustadz sirod juga sempat mentalqin sejumlah ikhwan baru di lantai atas.[]

21 Desember 2008

USTADZ SIROD PULANG

Alhamdulillah, setelah berjuang selama sekitar 40 hari di Tanah Suci Mekkah, KHM Siradjuddin Ruyani dan juga dua ikhwan sohibul MANFAAT -- pak Tugimin dan ibu Prapti -- telah kembali ke tanah air pada 19 Desember lalu. Sejumlah ikhwan menyambut Ustadz Sirod di Terminal III Bandara Soekarno Hatta. Terharu? Sudah pasti.

Malamnya, pak Ustadz Sirod langsung memimpin acara manaqib di rumah kediaman pak Rosdiana di kawasan Kelapa Dua, Karawaci, Tangerang. "Saya kangen sama manaqiban," kata pak Ustadz, dengan rambut yang plontos. Meski masih terlihat lelah, keceriaan terpancar di wajahnya. Oleh-olehnya mana?[]

IDUL ADHA DI SOHIBUL MANFAAT

Ustadz Sanusi mengimami shalat Idul Adha dan berkhutbah di hadapan jamaah Mushalla Sohibul Manfaat pada Idul Adha 1929 Hijriah kali ini. Banyak yang kehilangan pak Ustadz Sirod...

Alhamdulillah, tujuh ekor kambing menjadi bagian perayaan Idul Adha kali ini.

Puncaknya, penjagalan hewan-hewan kurban di samping mushalla. Engkong Uko jai tukang jagalnya...

23 November 2008

AMALIYAH BULANAN DZULKAIDAH 1429 HIJRIAH

Kepergian Pimpinan Mushalla Sohibul Manfaat ke tanah suci tidak menyurut minat para ikhwan untuk menggelar acara Manaqib. Kali ini, para ikhwan menghadirkan Kyai Muhammad Soleh, Wakil Talqin dari Jakarta, untuk "mengawal" acara bulanan itu.

"Manaqib itu memiliki tiga tujuan utama. Pertama menjadi tempat untuk berdzikir. Kedua merupakan pelajaran bersedekah bagi sohibul bait. Yang ketiga adalah pelajaran berjamaah seperti yang disunnahkan Rasulallah SAW," kata Kyai Soleh.

Banyak pesan yang diuraikan sebagai tausyiah bagi para ikhwan. Yang pasti, meski Ustadz Sirod tidak ada di tempat, alhamdulillah acara itu sukses digelar. Bahkan, tetap saja ada mutiara-mutiara yang bisa dijadikan bekal untuk amaliyah para ikhwan.


AMALIYAH BULANAN DI MASJID AT-TIEN

Kibar tradisi amaliyah bulanan melebar ke sisi timur Jakarta. Kali ini, para ikhwan menggelar acara itu di masjid wakaf mantan Ibu Negara Tien Soeharto atau Masjid At-Tien, 17 November lalu.

"Ini sejarah. Pak Harto itu merupakan ikhwan sejak tahun 1970. Beliau ditalqin langsung oleh Guru Mursyid," kata Wakil Talqin dari Ciamis, KHM Abdul Gaos SM. "Saya, termasuk saksi sejarahnya."

Uraian sejarah menjadi informasi berharga bagi para ikhwan tentang kemudahan untuk menggelar acara bulanan itu di Masjid At-Tien. Terlebih lagi, sejak halaman depan para ikhwan telah menyaksikan berbagai spanduk bertuliskan "Amaliyah Bulanan HM Soeharto". Artinya, acara itu memang khusus dirancang untuk almarhum yang merupakan ikhwan juga. Subhanallah.

Yang pasti, sejak khataman berlangsung hingga sahalat dhuhur digelar, para ikhwan merasakan "kelezatan" dzikir dan rangkaian acara itu. Sehingga, mereka pun ikhlas "duduk manis" berjam-jam untuk mengikuti acara dan mersepainya secara khusu.

"Kehebatan acara ini, karena kita merasakan kehadiran Guru Mursyid di tempat ini," kata Ajengan Gaos kemudian. Para ikhwan pun mengamininya dengan keharuan.

Insya Allah, acara Manaqib di Masjid At-Tien rutin dilaksanakan setiap hari Senin pada minggu ketiga setiap bulannya.[]

USTADZ SIROD NAIK HAJI

Ketika adzan berkumandang, keharuan pun tak mungkin dibendung lagi. Bahkan, Ustadz M. Siradjuddin Ruyani yang akan meninggalkan para ikhwan sohibul MANFAAT pun tak kuasa membendung air matanya. Allahu akbar...

Tangis keharuan makin membahana, setelah Wakil Talqon Korwil Tangerang itu melangkah dan dihadang pelukan para ikhwan. Subhannallah...

Selesai bertangis-tangis di Jalan Mataram Dalam, Ustadz Sirod berfoto bersama para ikhwan di halaman Masjid Al Adzom, Tangerang. Duh, kok ada yang asyik nelpon?

Selain Ustadz Sirod, para ikhwan sohibul MANFAAT juga harus melepas pak Tugimin dan istri yang akan menunaikan Rukun Islam ke-5 itu. Kali ini, nggak ada acara tangis-tangisan.

19 Oktober 2008

AMALIYAH BULANAN DI MASJID KUBAH EMAS

Pagi-pagi sekali, ketika sebagian orangbersiap-siap melangkah kaki untuk menjalankan shalat dhuha, Salawat Bani Hasyim menggema di lingkungan Masjid Dian Al-Mahri atau Masjid Kubah Emas di kawasan Meruyung, Depok, 18 Oktober kemarin. Sekitar 5.000 ikhwan dari berbagai tempat begitu bersemangat melantunkan pujian untuk bangsawan Bani Hasyim itu, Baginda Rasullah SAW.

Alunan salawat itu merupakan isyarat, para ikhwan memang tengah menggelar acara spesial di tempat itu. Seperti disampaikan di berbagai kesempatan, hari itu para ikhwan memang tengah melaksanakan amaliyah bulanan Manaqib. Karena itu, para ikhwan pun berbondong-bondong untuk mengikutinya.

Setelah berkhataman dengan penuh khusyu, para ikhwan langsung mengikuti acara Manaqib yang dikawal dua Wakil Talwin, KHM Abdul Gaos Syaefullah Maslul dari Ciamis dan Ustadz M. Siradjuddin Ruyani Syaefullah Bashir dari Tangerang. Sejak pembacaan Al Qur'an, pembacaan Tanbih, Tawassul, hingga Manaqib, seluruh hadirin larut dalam kesejukan hati. Inilah pelajaran cinta yang tengah ditebarkan di tempat ini.

Suka cita yang kian tak terkendali makin terasa ketika mereka melantunkan zikir jahar ba'da shalat dhuhur.

"La ilaha ilallah, la ilaha ilallah, la ilaha ilallah..."

Meski panas dan lapar begitu terasa, namun tidak kata lesu dan tidak bergairah. Para ikhwan tetap duduk manis hingga acara berakhir. Bahkan, ketika Ajengan Gaos -- panggilan akrab KHM Abdul Gaos SM -- mentalqin ikhwan baru, para ikhwan lain ikut duduk di lingkaran. Maka, suasana talqin jadi tidak kalah serunya.

Keharuan dan kedasyayatan acara itu, bisa juga disaksikan melalui video yang ditampilkan di laman ini. Ila Anta maqshudi warhoka mathlubi, 'athini mahhabataka wamarifataka...

13 Oktober 2008

MANAQIB DI MASJID KUBAH EMAS

Menara Masjid Nurul Asror di Ponpes Suryalaya bakal memercikkan kharismanya ke masjid-masjid lain.

Tradisi bulanan Thoriqoh Qadiriyah Naqsyabandiyah, Manaqib, menembus Masjid Dian Al-Mahri, masjid super mewah dengan kubah emasnya di kawasan Maruyung, Depok. Ini menjadi "proyek" dasyat bagi akhwah TQN, yang biasanya menggelar acara itu di tempat tertutup alias di masjidnya masing-masing.

Tidak tanggung-tanggung, kali ini dua Wakil Talqin TQN, KHM Abdul Gaos Syaefullah Maslul dan Ustadz M. Siradjuddin Ruyani Syaefullah Bashir akan mengawal acara itu. Sehingga, diharapkan para akhwah di mana pun akan meramaikan acara itu.

Acara akan digelar pada tanggal 18 Oktober 2008 mulai pukul 08.00 WIb sampai selesai. Selain khataman, manaqib, dan mendengar tausyiah dua da'i kondang, para calon akhwah pun bisa mengikuti talqin.[]

12 Oktober 2008

FROM BANDUNG WITH LOVE

Ajengan KHM Abdul Gaos Syaefullah Maslul, Wakil Talqin TQN Wilayah Ciamis, Jawa Barat.

Ustadz M. Siradjuddin Ruyani ikut membagikan cinta di Bandung, dengan memimpin "tawasul" pada Manaqib di kediaman Bapak H. Rozali Usman.

Ajengan Gaos bersama ikwan cilik Sohibul Manfaat, Kaka dan Koqo.

Ustadz Sirod dan kawan-kawan ikut menyaksikan kebahagiaan Kaka dan Koqo yang bisa berdekatan Ajengan Gaos.

Di rumah Bapak H. Rozali Usman di Bandung, para akhwah Sohibul Manfaat bergaya. Kayaknya bisa deh jadi foto model.

Perjalanan memburu cinta dari Suryalaya tidak berakhir bergitu saja. Setelah mengunjungi Pangersa Abah Anom, Ustadz M. Siradjuddin Ruyani membawa rombongan ke arah Bandung. Persisnya, di kediaman Bapak H. Rozali Usman.

Di tempat itu, ternyata telah menunggu Wakil Talqin TQN senior asal Ciamis, KHM Abdul Gaos Syaefullah Maslul atau Ajengan Gaos. Maka, kesempatan bersilaturahim pun membentang demikian indahnya. Selain berfotoria, kami pun mengikuti acara manaqiban di tempat itu.[]

08 Oktober 2008

AMALIYAH BULANAN SYAWAL 1429 H

Berbeda dengan penyelegaraan manaqib sebelumnya yang di minggu ke-4 setiap bulannya, kali ini acara itu dilaksanakan pada minggu pertama. Hal itu terkait acara Walimatus Safar Ustadz M. Siradjuddin Ruyani yang juga diselenggarakan di hari yang sama. Meski suasana mudik dan Idul Fitri masih terasa, ternyata tidak mengurangi kemarakan dan kehikmatan tradisi bulanan ini.

Sekitar seratus akhwah memadati bagian dalam dan halaman Mushalla Sohibul Manfaat. Mereka bukan hanya berasal dari wilayah Tangerang, tapi juga daerah-daerah lain. Tujuannya pun beragam. Ada yang karena memenuhi kewajiban manaqib, tapi ada juga memang sengaja menggabungkannya untuk berhalal bihalal dan menghantarkan salam perpisahan untuk wakil talqin yang hendak berhaji. Subhanallah.

"Saya menitipkan keluarga dan berharap doa restu para ikhwan dan akhwat," kata Ustadz M. Siradjuddin Ruyani. Sesekali tangan wakil talqin itu disekakan ke matanya yang berair. Para akhwah tak kalah terharunya. Beberapa akhwat ikut menangis. Terharu.

Meski begitu, hikmah mankobah dan tausyiah tetap saja meluncurkan dari Ustadz Sirod -- begitu wakil talqin itu biasa dipanggil. "Pokoknya, amalkan saja apa-apa yang sudah ditugaskan. Jangan membesarkan khayalan dan keinginan. Pokoknya, amalkan saja!"

Selain shalat fadhu, para ikhwan dibekali tugas shalat-shalat nawafil sejak fajar menyingsing hingga malam, zikir harian, zikir mingguan berjamaah dalam khataman, dan juga manaqib. Karena, dengan keikhlasan dan berharap akan kerindhanNya, semua amaliyah kelak membuahkan buah nan ranum.

Malamnya, para ikhwan kembali berkumpul di halaman Mushalla Sohibul Manfaat. Kali ini, mereka mengikuti hikmah Walimatus Safar yang disampaikan Doktor KH Achmad Suhaemi Hasan alias Ajengan Eces.

Meski acara sempat mulur beberapa jam, namun tidak membuyarkan kesabaran dan harapan untuk memperoleh pengetahuan. Lebih daripada itu, mereka memang begitu kokoh membangun kebersamaan dan kesetiaan terhadap gurunya yang wakil talqin, serta sesama akhwah. Sehingga, ketika malam menyergap dan dingin terus menusuki tulang, mereka tetap duduk manis di hadap ajengan. Sebaliknya, Ajengan Eces pun tak kalah semangatnya, untuk menghidangkan tausyiah haji.[]

24 September 2008

HAMPIRI AKU KEMBALI, RAMADHAN

Tanpa terasa, hari-hari menakjubkan di atas sajadah Ramadhan akan segera berlalu. Kaum muslim bersiap-siap melantunkan takbir dan tahmid seraya menyambut kemenangan Idul Fitri. Adakah alasan untuk tidak merayakannya secara suka cita?

Ramadhan adalah kesempatan mendulang barokah, ampunan, dan percikan kesucian untuk dijauhkan dari api neraka namun didekatkan pada taman surga. Secara syariat, puasa diartikan menahan makan, minum, dan “ibadah khusus” dengan suami atau istri, sesuai firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah. Pengertian itu membidik kendali fisik.

Perut yang kerap mengatur ritme pikiran dan hati diminta beristirahat mengumbar keinginannya. Karena, manusia kerap memburu untuk kebutuhan bagian itu dengan cara apa saja. Dalam artian, tidak lagi menimbang logika apalagi nurani. Apapun yang diinginkan harus didapat. Apapun yang terlihat didepan mata disikat. Sehingga, ketentuan Allah SWT yang disampaikan dalam Al Qur’an dan praktek-prakteknya nyata yang dicontohkan Rasulallah SAW bisa diabaikan.

Pada bagian itu, manusia telah mereinkarnasi perwujudan jiwanya seperti manusia purba. Yakni, manusia yang belum diperkaya akal dan budi, serta belum dilabeli fitrah khalifah. Dengan kata lain, tentu tidak ubahnya dengan hewan. Kebutuhan perut di atas segala-galanya. Dan, ia halal saja memperoleh kebutuhan lahiriah itu dengan cara semau-maunya. Tak peduli itu hak orang lain.

Saya teringat nasihat kuno yang disampaikan Cak Nun dalam “Jejak Tinju Pak Kiai”, Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikan asal-usul kebenaran dan kebatilannya, posisi halal haramnya. Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anak dan cucu-cucumu”.

Bagian berbahaya lain yang menjadi fokus pelatihan, utamanya adalah “saudara” seiman yang kerap tidak seamin di bawah perut. Untuk memenuhi hajat yang satu itu, betapa manusia juga kerap mengabaikan norma dan ketentuan agama. Bila ada kesempatan, maka untuk memenuhi hasrat hewani itu pun kudu dituntaskan selekas-lekasnya. Bagian ini, lagi-lagi, mengingatkan kita akan sifat dasar hewan yang tidak memiliki aturan.

Kedua hal itu merupakan simbol pemenuhan hawa nafsu manusia. Untuk memperoleh keduanya, semua sifat dan karakter manusia bisa bermunculan tanpa batas. Manusia bisa tidak mengenal lagi temannya, saudaranya, bahkan orangtuanya. Maka, puasa menjadi latihan pengendaliannya. Puasa menjadi kesempatan menempa perut dan “saudara” kita untuk bersabar dan bersyukur. Bersabar untuk menunggu kesempatan memenuhi hak sesuai waktunya. Tidak perlu tergesa-gesa, tetap di antrean, dan membiarkan manusia lain yang lebih berhak untuk mendapatkannya. Karena, Yang Mahasabar telah mengatur semuanya dengan sempurna.

Sedangkan, bersyukur atas kesempatan menikmati hakekat kehidupan dari Yang Mahasyukur. Bersyukur masih mendapatkan apa-apa yang menjadi hak kita. Bersyukur masih bisa menikmatinya dengan penuh keberkahan. Dan, bersyukur seantiasa mendapat kebaikan dan kenikmatanNya.

Bila persoalannya sekedar menahan makan, minum, dan “ibadah khusus” dengan lawan jenis, maka tuntas sudah ujian-ujian itu dilewati. Tapi, apakah sesederhana itu pemahamannya?

Memang iya, bila kenikmatan Ramadhan belum juga diraih.

Cobalah rasakan kedasyatan puasa, dengan lapar, haus, dan kendali gairahnya itu. Cobalah merancang Ramadhan sebagai momen dasyat, dengan senantiasa berkeinginan menyambutnya, menjalankan seluruh amaliyahnya, dan bertekad menjadikan bulan-bulan lain laksana Ramadhan. Puasa bukan hanya dijadikan ujian kendali fisik, tapi juga praktik mengendalikan hati dan pikiran.

Cobalah melihat lebih jelas keadaan di sekitar kita. Biarkan Ramadhan membimbing mata, pikiran, dan hati, untuk melihat keadaan di sekeliling kita dengan jujur. Adakah sesuatu yang belum kita perbuat terhadapnya? Bila tidak, maka Ramadhan harus membimbing tangan kita untuk menyentuhnya dan berbuat banyak. Kebajikan, maksudnya.

Cobalah merenung barang sebentar, untuk meneliti kembali adakah kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang masih diperbuat dengan perjalanan ibadah kita. Baik menyangkut amaliyah terhadap Yang Mahasuci, atau perbuatan-perbuatan nyata terhadap makhluk-makhluk ciptaanNya. Introspeksi ini mesti membuahkan catatan tentang kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki. Masih adakah manusia lain yang terzhalimi ulah kita? Masih adakah hak manusia lain yang terengut keserakahan kita? Masih adakah kebahagiaan yang belum disalurkan kepada manusia lain?

Cobalah tidak melulu memikirkan pahala atau ganjaran atas ibadah-ibadah nyata, seperti puasa, shalat fardhu, shalat tarawih, tadarus, dan amaliyah lain. Tapi, berpikir juga melakukan semua itu bukan atas dasar imbalan atau pamrih. Tapi, semata-mata kecintaan kepada Allah SWT. Termasuk juga dalam berbuat kebajikan kepada orang lain, yang tidak lagi berpikir tentang pujian dari sesama dan pahala dari Yang Mahamemberi. Lagi-lagi, semata-mata kecintaan kepada Allah SWT.

Buah dari nilai kesejatian Rukun Islam ke-4 itu, tidak lain ridha Allah. Hanya atas ridhaNyalah, kita benar-benar berharap untuk senantiasa dihampiri Ramadhan dan menjalani keindahan hari-harinya. Sekaligus menjadikan kita sebagai manusia yang wajib hadir di muka Bumi (sebagai khalifah), bukan manusia yang sunnah, makruh, apalagi haram.

Mohon maaf lahir batin. Selamat idul Fitri 1429 Hijriah.[]

22 September 2008

AMALIYAH BULANAN RAMADHAN 1429 H

Bulan Ramadhan tetap ada manaqib. Karena, kita adalah ikhwan. Kalau bukan, tentu saja, boleh tidak mengamalkan amaliyah bulanan itu. Buktinya, pada minggu ke-lima atau detik-detik mendekati lebaran, para ikhwan tetap berkumpul di Mushalla sohibul MANFAAT.

Yang berbeda, sudah pasti waktu penyelenggaraannya. Bila biasanya acara itu digelar pagi hari, maka kali ini sore hari seusai shalat ashar. Bila di bulan-bulan ada acara makan siang, maka kali ini, buka puasa bersama. Meski begitu, jangan tanyakan suasana hati para akhwah yang mengikuti acara. Suka cita nan tiada tara!

Sejak siang mereka telah berdatangan. Setelah itu mereka mengikuti acara demi acara dengan khusyu. Seakan tidak ada rasa lapar atau haus di dalam lingkungan mushalla. "Karena, kita bukan lagi berpuasa secara raga. Tapi, khatirnya juga," kata Ustadz M. Siradjuddin Ruyani, wakil talqin wilayah Tangerang dalam tausyiahnya.

Dikatakannya, puasa yang hanya menahan nafsu lahiriah masih tingkatan pemula alias sekolah dasar. "Bagi kita tiada lain, dengan melipatgandakan amaliyah kita dibandingkan bulan-bulan kemarin. Jangan berhitungan soal kapan datangnya malam lailatul qadar. Amalkan saja. Entah adanya di malam 17, 19, 21, atau 29. Pokoknya, amalkan," katanya.

Pada kenyataannya, manaqiban di malam ke-29 Ramadhan itu jadi bekal untuk memasuki malam ganjil nan dinanti-nanti itu. Para akhawah sepakat, malam lailatul qadar akan tiba kapan saja, tanpa tergantung ganjil atau genapnya tanggal.

"Untuk level kita, berharap saja terserempet. Jangan, berharap ditabrak. Karena, iman kita kan belum seberapa. Bila terserempet saja, maka hasilnya akan dilihat pada penampakan praktik-praktik amaliyah kita. Semakin semangat, semakin ikhlas, semakin ridha, dan semakin merasa tidak memiliki apa-apa di hadapanNya," kata Ustadz Sirod -- panggilan wakil talqin itu.[]

SHALAT LAILATUL QADR


Memasuki malama-malam lailatul qadr, akhwah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah mendapat tugas khusus untuk mengamalkan SHALAT LAILATUL QADR sebanyak dua rakaat sebelum tidur. Atau, setelah melaksanakan shalat-shalat sunnah rutin; shalat mutlaq, shalat istikharah, shalat hajat, dan shalat tasbih.


“Rakaat pertama membaca surat Al Fatihah dan At Takatsur. Sedangkan rakaat kedua membaca surat Al Fatihah dan Al Ikhlas tiga kali,” kata Ustadz M. Siradjudin Ruyani, seusai memimpin shalat tarawih. Di malam ke-23 Ramadhan itu, ia tidak melakukan shalat witir berjamaah. Tapi, ia menyarankan kepada para jemaah untuk melaksanakannnya di rumah. Artinya, setelah melaksanakan shalat malam, seperti shalat tahajut, hajat, dan tasbih.

Khusus untuk shalat sebelum tidur, ia meminta untuk memasukkan shalat lailatul qadr dalam rangkaian shalat sunnah rutin lainnya.[]

SHALAT BIRRUL WALIDAIN


وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan Kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yanq bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua ibu bapakmu, hanya kepadaKu lah kembalimu” (Q.S. Luqman: 14)

Diriwayatkan Abu Abdurrahman Abdullah ibnu Mas’ud RA:

Aku bertanya kepada Nabi SAW, “Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT?”

Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.”

Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?”

Beliau menjawab, “Birrul walidain.”

Kemudian aku bertanya lagi, “Seterusnya apa?”

Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.”

Birrul walidain terdiri dari kata al birrul artinya kebajikan dan al walidain artinya dua orang tua atau ayah bunda. Maka, birrul walidain maknanya berbuat kebajikan kepada kedua orangtua atau berbuat ihsan sesuai dengan perintah Allah SWT dalam surah Al Ahqaf ayat 15, “Kami wajibkan kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan (ihsan) kepada dua orang ayah bundanya”.

Sahabat Abu Umamah RA mengisahkan, seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai peranan kedua orang tua dan dijawab, “Mereka (kedua orang tua) adalah yang menyebabkan surgamu atau nerakamu.” (HR. Ibnu Majah).

Ketika Muawiyah ibnu Jahimah mendatangi Rasulullah SAW untuk memohon, agar ia dapat ikut berjihad bersama beliau ke medan juang. Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah ibunya masih hidup?”

Muawiyah rnenjawab bahwa ibunya masih hidup. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Kembalilah ke rumah dan layani ibumu, karena sorga berada di bawah telapak kakinya” (HR. lbnu Majah dan Nasa’i)

Di antara perintah Allah mengenai birrul walidain terdapat dalam surah Al Isra’ ayat 23 –24. Bila diperhatikan firman Allah dalam ayat ini dapat diambil beberapa hal pokok. Pertama, hak dan kedudukan orang tua (ayah bunda) di dalam Islam memiliki kedudukan yang mulia, langsung berada di bawah hak-hak Allah SWT. Al Qur’an berulang kali memerintahkan berperilaku menyenangkan, patuh, dan berbakti kepada ayah bunda.

Selanjutnya, apabila kedua ayah bunda sudah berusia lanjut, sikap dan perasaan mereka cepat berubah, seperti menjadi mudah tersinggung, suka marah dan cepat bersedih hati, karena ketuaan usia mereka. Maka kepada anak-anak mereka diperintahkan, agar melihat perubahan perilaku ayah bunda itu sebagai suatu yang lumrah dan mesti diterima dengan selalu menampakkan rasa kasih sayang yang tulus.

Birrul walidain menempati kedudukan istemewa dalam ajaran Islam. Perintah ihsan kepada ayah bunda ditempatkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an sesudah perintah beribadah kepada Allah dan sesudah larangan menyekutukan-Nya. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan esuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak wabil waalidaini ihsanan… (Q.S. An Al Isra’: 36)

Allah telah menetapkan perintah berterima kasih kepada ayah bunda sesudah perintah bersyukur kepada Allah SWT. “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. (Q.S. Luqman:14)

Kemudian, Baginda Rasulullah SAW mengaitkan keridhaan Allah SWT bertalian dengan keridhaan ayah bunda, sesuai sabda beliau, “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orangtua, dan kemarahan Rabb (Allah) ada pada kemarahan orang tua” (HR. At Tirmidzi). Demikian pula, Rasulullah SAW meletakkan ‘uququl walidain (durhaka kepada dua orang ibu bapak) sebagai dosa besar sesudah al isyraaku billah (syirik).

Maka di dalam mengamalkan ibadah-ibadah di dalam bulan Ramadhan khususnya, dan juga pada setiap saat, janganlah dilalaikan untuk berdoa bagi keselamatan dan kesejahteraan kedua ayah bunda, agar Allah SWT menurunkan rahmatnya untuk kita semua.

Khusus untuk akhwah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah memiliki ciri tersendiri untuk menunjukkan sikap berbakti kepada orangtua. Pada fase maghfiroh di bulan Ramadhan ini, mereka dituntut melaknakan SHALAT BIRRUL WALIDAIN sebanyak dua rakaat ba’da shalat maghrib. Rakaat pertama membaca surat Al Fatihah dan Al Qadr. Sedangkan rakaat kedua membaca surat Al Fatihah dan Al Ikhlas.[]


17 September 2008

RAMADHAN DI SOHIBUL MANFAAT


Selalu ada hal luar biasa di Mushalla Sohibul Manfaat (dibanding tempat ibadah lain, tentunya). Terlebih lagi di bulan Ramadhan. Apalagi kalau bukan menyangkut ibadah dan kebersamaan.

Ibadah dan kebersamaan?

Selalu, dua hal itu yang menonjol. Menyangkut ibadah, sudah pasti. Karena, di Mushalla yang “dikawal” Wakil Talqin Thoriqoh Qadiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya Ustadz M. Siradjudin Ruyani itu, ibadah tetap nomor satu. Wujudnya, kualitas dan kuantitas shalat dan zikir yang di luar kebiasaan.

Ba’da maghrib (juga dilakukan berbuka puasa bersama), para akhwah berzikir harian dan khataman. Tak lama berselang, bedug isya pun terdengar. Maka, shalat isya dan tarawih (yang 20 rakaat plus 3 witir) digelar. Zikir harian tetap dikumandangkan di antara shalat fardhu dan shalat sunnah muakkad itu. Setelah itu, Ustadz Sirod akan membelai kalbu dengan “kuliah tujuh menit”nya. Ceramah singkat ini memang asli tujuh menit, karena disiapkan untuk sekedar mengingatkan para akhwah untuk istiqomah dalam pelaksanaan ibadah dan rutinis TQN.

Ketika waktu khataman (mingguan) tiba di malam Sabtu, para akhwah pun makin ramai. Kami pun berzikir tanpa lelah dan bosan hingga pukul 24.00 WIB. Subhanallah.

Di antara pelaksnaan ibadah berjamaah yang tetap semangat itu, kebersamaan tetap menjadi jiwa Sohuibul Manfaat. Dengan berbuka puasa bersama, menyiapkan “takjil” ba’dan tarawih yang bergiliran dan dinikmati sama-sama, juga gotong-royong menikmati khataman, para akhwah jadi diikat dalam satu batin. Semua menikmati menu yang sama. Semua merasakan beban yang sama. Dan sama menjamu rasa kebersamaan itu.

Bila ada tempat lain yang juga menawkan nuansa yang sama pastilah masih berkaitan dengan TQN. Karena kelompk tarekat ini memang “disiplin” dengan konsep totalitas amaliyah dan kebersamaan. Sehingga, tanpa terasa, malam barokah terlewati, malam maghfiroh tengah dijalani, dan malam ikum minanar segara dijelang. Dan, Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin.[]

15 September 2008

MA'RIFAT AMALIYAH


Pelaksanaan shalat nisfu sya’ban yang 100 rakaat, ternyata menjadi “cerita” tersendiri di kalangan muslim tertentu. Mereka menyebutnya bid’ah (arti sebenarnya, berlebihan). Sehingga, polemik pun terus memanjang tanpa batas, dan memuaskan birahi bersuara.

Tapi, pata akhwah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) jalan terus – sesuai amanat pangersa Abah Anom dan petunjuk teknisnya di laman suryalaya.org. Biarlah persoalan bid’ah dan kecaman syariat berdatangan. Biarlah Ilmu Fiqih mengupasnya dan mencari solusi terbaik. Yang pasti, para akhwah merasa nikmat luar biasa dengan pelaksanaan ibadah itu.

Suasana haru dan penuh kerinduan dirasakan para akhwah Mushalla Sohibul Manfaat jauh sebelum hari H tiba. Pada malam khataman (Jum’at malam), Ustadz M. Siradjudin Ruyani mengupas panjang-lebar fadhilah dan himbauan untuk menikmati “lailatul qadr” di bulan Sya’ban itu. Dan seperti biasa, para akhwah tidak bereaksi berlebihan, dan siap mengikutinya dengan khusu. Maklum, ibadah itu telah digelar tiga kali berturut-turut. Jadi, bukan barang aneh lagi.

Pada hari H, para akhwah dari sekeliling Tangerang berkumpul sejak pukul 17.30 WIB (bukti kesungguhan untuk tidak melewati malam spesial itu). Setelah shalat maghrib, kami juga melanjutkannya dengan zikir harian, sejumlah shalat sunnah lain, seperti ba’diah, lidafil bala, taubat, hajat, dan syukur nikmat. Setelah itu, kami pun melaksanakan shalat 100 rakat, dengan diselingi shalat isya dan ba’diah. Yang menarik, ibadah kali ini bukan hanya melibatkan para ikhwah, tapi anggota keluarga lainnya. Termasuk, anak-anak yang masih di bangku sekolah dasar. Subhanallah.

“Orang tarekat beribadah dengan khatir (rasa). Jadi, tidak ada perasaan lelah,” kata Ustadz Siradjudin, menyinggung kesungguhan para akhwah. Semua terdiam, tertunduk, seraya berzikir khofi tanpa putus.

Setelah mengurai fadhilah dan keutamaan shalat itu, plus dalil-dalilnya, kami disejukkan dengan uraian ma’rifat amaliyah. Hal ini menjadi penting, karena pada kelompok-kelompok tarekat amaliyah umumnya tidak pernah membahas secara khusus masalah itu. Bahkan, para akhwah dibiasakan untuk tidak mempersoalan tajjali atau suasana magis yang biasa terjadi di kalangan penganut tarekat filsafat.

“Bukti kita mencapai ma’rifat adalah kesungguhan ibadah itu sendiri. Ketika kita merasa butuh untuk selalu beribadah, shalat dan zikir, tanpa menghitung-hitung lagi pahala, fadhilah, dan imbalan, serta kuantitas pelaksanaannya, maka itulah ma’rifat. Karena, kita telah merasakan nikmat berdekatan dengan Allah SWT melalui momen shalat dan zikir,” jelas Ustadz Siradjudin. Subhanallah, perlahan-lahan, kalimat tasbih itu terus mengguman.

Selepas shalat nisfu sya’ban, satu hari setelah momen itu terlewati, ada perasaan kehilangan yang mendalam. Tiba-tiba, kami merasakannya seperti berada di tanggal 1 Syawal – ba’da puasa Ramadhan selama sebulan, shalat iedul fitri, seraya menikmati kelelahan dan kebahagiaan. Tiba-tiba, hati ini merasa hampa. Kesepian. Dan, ada juga kerinduan. Ah, perasaan apa juga yang terjadi? []

26 Agustus 2008

SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir Al-Jailani Qadasallahu Sirrahu, semoga Allah merahmatinya, adalah al-ghawts al-a’zham – manifestasi sifat Allah Yang Mahaagung, yang mendengar permohonan dan memberikan pertolongan, dan al-quthb al-a’zham – pusat dan ujung kembara ruhani, pemimpin ruhani dunia, sumber hikmah, perbendaharaan ilmu, teladan iman dan Islam, pewaris hakiki kesempurnaan Nabi Muhammad SAW. Ia termasuk insan kamil, pendiri Tarekat Qodiriyah, yang tersebar luas di dunia Islam dan telah menjaga makna tasawuf selama berabad-abad hingga kini.

Syekh lahir di al-Jil, termasuk dalam wilayah Iran, pada 470 Hijriah (1077-1078). Ibunya Ummul Khayr Fatimah binti Al-Syekh Abdullah Sumi – keturunan Rasulallah SAW melalui cucu terkasihnya, Sayyidina Husein RA – mengatakan, “Anakku, Abdul Qadir lahir di bulan Ramadhan. Di siang hari bulan Ramadhan. Bayiku tak pernah mau diberi makan.”

Berikut penuturan Syekh, seperti ditulis Syekh Tosun Bayrak dalam “Secret of The Secrets”.


Masa Kecil Syekh

Di waktu kecil, ada malaikat yang selalu datang kepadaku setiap hari dalam rupa pemuda tampan. Ia menemaniku ketika aku berjalan menuju madrasah dan membuat teman-temanku selalu mengutamakan diriku. Ia menemaniku seharian hingga aku pulang. Dalam sehari, aku peroleh ilmu lebih banyak daripada yang diperoleh teman-teman sebayaku selama satu minggu. Aku tak pernah mengenali pemuda itu.

Suatu hari, ketika aku bertanya kepadanya, ia menjawab, “Aku adalah malaikat yang diutus Allah. Dia mengutusku untuk melindungimu selama kau belajar.”

Setiap kali terlintas keinginan untuk bermain bersama teman-temanku, aku selalu mendengar bisikan, “Jangan bermain, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba yang dirahmati.”

Karena takut, aku berlari ke dalam pelukan ibu. Kini, meski pun aku beribadah dan berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa mendengar suara itu sejelas dulu.


Masa Remaja Syekh

Pada suatu pagi di hari raya Idul Adha, aku pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh dan memandangku, laluberkata, “Kau tercipta bukan untuk hal semacam ini.”

Mendengar hewan itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera berlari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika memandang ke depan, kulihat dengan jelas para jamaah haji sedang wukuf di Arafah.

Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya, “Izinkan aku menempuh jalan kebenaran. Biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para orang-orang bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah.”

Ketika ibuku menanyakan alasan keinginanku yang tiba-tiba, ia menangis sedih. Namun, ia keluarkan 80 keping emas – harta satu-satunya warisan ayahku. Ia sisihkan 40 keping untuk saudaraku. Sedangkan 40 keping emas lainnya dijahitkan di bagian lengan mantelku. Ia memberiku izin untuk pergi seraya berwasiat, agar aku selalu bersikap jujur. Apa pun yang terjadi.

Sebelum berpisah, ibuku berkata, “Anakku, semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku sadar, aku takkan bertemu lagi denganmu hingga hari kiamat.”

Aku ikut kafilah kecil menuju Baghdad. Baru saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok, yang terdiri dari 60 orang berkuda, menghadang kami. Mereka merampas semua harta milik anggta kafilah. Salah seorang perampok mendekatiku dan bertanya, “Anak muda, apa yang kau miliki?”

Kukatakan bahwa aku punya 40 keping emas.

Ia bertanya lagi, “Di mana?”

Kukatakan, “Di bawah ketiakku.”

Ia tetawa-tawa dan pergi meninggalkanku. Perampok lainnya menghampiriku dan menanyakan hal yang sama. Aku menjawab sejujurnya. Tetapi seperti kawannya, ia pun pergi sambil tertawa mengejek. Kedua perampok itu mungkin melaporkanku kepada pemimpinnya. Karena tak lama kemudian, pimpinan gerombolan itu memanggilku, agar mendekati mereka yang sedang membagi-bagikan hasil rampokan. Si pemimpin bertanya, “Apakah aku memiliki harta?”

Kujawab bahwa aku punya 40 keping emas yang dijahitkan di bagian lengan mantelku.

Ia ambil mantelku. Ia sobek. Dan ia temukan keeping-keping emas itu. Keheranan, ia bertanya, “Mengapa kau memberitahu kami, padahal hartamu itu aman tersembunyi?”

“Aku harus berkata jujur, karena telah berjanji kepafa ibuku untuk selalu bersikap jujur.”

Mendengar jawabanku, pemimpin perampok itu tersungkur menangis. Ia berkata, “Aku ingat janji kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini aku telah merampas harta orang dan membunuh. Betapa besar bencana yang akan menimpaku!”

Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu berkata, “Kau memimpin kami dalam dosa. Kini, pimpinlah kami dalam tobat!”

Ke-60 orang itu memegang tanganku dan bertobat. Mereka adalah kelompok pertama yang memegang tanganku dan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka.[]

18 Agustus 2008

PELAKSANAAN SHALAT NISFU SYA'BAN


Shalat sunat Nisfu Sya'ban kali ini, dilaksanakan pada Sabtu malam, 16 Agustus 2008 (malam 15 Sya'ban 1428 H). Pada malam ini, ditutuplah "Buku Catatan Perjalanan Hidup" setiap manusia. Dan akan dibuka lembaran buku baru untuk tahun yang akan datang.


Kita berharap, akhir dan awal dari lembaran buku catatan hidup kita diisi dengan amal kebaikan. Salah satunya adalah dengan melaksanakan Shalat sunat Nisfu Sya'ban. Shalat ini sebanyak 100 rakaat, 1000 qulhuwalloohu ahad. Baca juga Maklumat Abah Anom yang ditandatangani pada 1 Juni 1982 mengenai hal ini.

Niatnya : Usholli sunnatan nisfu sya'ban rok'ataini (imaaman/ma'muuman) lillahi ta'alaa. Allaahu akbar (Aku niat shalat sunat nisfu sya'ban 2 rakaat (menjadi imam/makmum) karena Allah Ta'ala. Allahu akbar.
Banyaknya : 100 rakaat (50 kali salam) lebih baik berjamaah.
Bacaannya: Setiap rakaat setelah Fatihah membaca surat al-Ikhlas (Qulhu walloohu ahad) 10 kali
Waktunya : Setelah shalat sunat ba'diyah Maghrib kemudian dilanjutkan setelah Isya (Fardhu Maghrib, dzikir, ba'diyah Maghrib, Nisfu Sya'ban, (masuk Isya), shalat sunat qobliyah Isya, Fardhu Isya, Ba'diyah Isya, dzikir, lanjutan Nisfu Sya'ban;).
Do'a setelah shalat sunat Nisfu Sya'ban:

Artinya : "Ya Allah! Tuhan yang membangkitkan dan tak ada yang sanggup membangkitkan kecuali Dia, ya Tuhan yang Maha Luhur dan Agung dan yang Maha Pemurah memberi nikmat-nikmat. Tidak ada Tuhan yang lain melainkan Engkau yang menolong orang-orang yang memohon pertolongan dan melindungi orang-orang serta mengamankan dari sekalian yang dikhawatirkan dan ditakuti.

Ya Allah andai kata telah ditakdirkan di sisi Mu akan daku dalam buku Azaly, bahwa aku celaka dan sedikit rezeki, terusir dan diharamkan akan daku maka hapuskanlah (apa-apa yang tercatat/tertulis dalam buku Azaly itu) dengan kemurahan-Mu. Dan tetapkanlah di sisi-Mu dalam buku Azaly itu (tukarkanlah akan keadaan di azalyku itu) dengan kebahagiaan lagi memperoleh rezeki yang dipergunakan untuk kebaikan, sesungguhnya Engkau berkata dan kata-kata-Mu adalah benar; sebagaimana tercantum di dalam Kitab-Mu yang Engkau turunkan atas lisan Nabi-Mu yang diutus (Muhammad saw.), "Yakni dihapuskan Allah barang yang dikehendakinya (perkataan/pernyataan yang menyimpang) dan ditetapkan-Nya di sisi-Nya di Azaly".

Ya Allah dengan keagunganMu pada malam Nisfu Sya'ban yang mulia / berkat ini, yang memisahkan kepadanya tiap-tiap perkara/keadaan dan urusan yang tepat dan yang dipastikan, hindarkan ya Allah kami dari bala'i/musibah yang kami ketahui dan yang tidak kami ketahui dan Engkaulah yang lebih mengetahui dengannya, sesungguhnya Engkau Maha Agung dan Pemurah". Washallallahu 'alaasayyidina Muhammadin wa alaa aalihii washohbihii wasallam. Walhaldulillahi robbil 'alamiin.[suryalaya.org]

14 Agustus 2008

SYEKH BAHAUDIN NAQSYBAND

Mawlana Syekh Bahaudin Naqsyband, Imam at Tariqah (semoga Allah swt mensucikan jiwanya) mengikuti jalan yang shaleh, terutama dalam hal tata cara makannya. Beliau mengambil segala jenis pencegahan sehubungan dengan makanannya. Beliau hanya mau makan dari barley yang ditanamnya sendiri. Beliau akan memanennya, menggilingnya, membuat adonan, menanak dan memanggangnya dengan tangannya sendiri. Semua ulama dan para pencari di masanya membuat jalan mereka menuju rumahnya, agar bisa makan di mejanya dan mendapatkan berkah dari makanannya.

Syekh Naqshbandi mencapai suatu kesempurnaan dalam hal penghematan. Pada musim dingin, beliau hanya meletakkan selembar karpet tua di lantai rumahnya dan ini tidak memberi perlindungan dari udara dingin yang menusuk. Pada musim panas beliau meletakkan tikar yang sangat tipis di lantai. Beliau mencintai orang yang miskin dan membutuhkan. Beliau mendorong para pengikutnya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, yaitu dengan membanting tulang.

Beliau mendorong mereka untuk membagikan uangnya kepada fakir miskin. Beliau memasak untuk fakir miskin dan mengundang mereka untuk makan bersama. Beliau melayani mereka dengan tangannya sendiri yang suci dan mendorong mereka agar tetap berada di Hadirat Allah. Jika salah seorang di antara mereka memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan cara yang tidak baik, beliau akan menegurnya, melalui pandangan spiritualnya terhadap apa yang telah mereka lakukan dan mendorong mereka untuk tetap ingat kepada Allah swt ketika sedang makan.

Beliau mengajarkan, “Salah satu pintu yang paling penting menuju ke Hadirat Allah adalah makan dengan Kesadaran. Makanan memberikan kekuatan bagi tubuh, dan makan dengan kesadaran memberikan kesucian bagi tubuh.”

Suatu saat beliau diundang ke sebuah kota bernama Ghaziat di mana salah seorang muridnya telah menyiapkan makanan baginya. Ketika mereka duduk untuk makan, beliau tidak menyentuh makanannya. Tuan rumah menjadi terkejut. Syekh Naqsyband berkata, “Wahai anakku, aku ingin tahu bagaimana engkau menyiapkan makanan ini. Sejak engkau membuat adonan dan memasaknya sampai engkau menyajikannya, engkau berada dalam keadaan marah. Makanan in bercampur dengan kemarahan itu. Jika kita memakan makanan itu, setan akan menemukan jalan untuk masuk melaluinya dan menyebarkan seluruh sifat buruknya ke seluruh tubuh kita.”

Di waktu yang lain beliau diundang ke kota Herat oleh rajanya, Raja Hussain. Raja Hussain sangat senang dengan kunjungan Syekh Naqsyband dan memberikan pesta besar baginya. Raja mengundang semua mentrinya, Syekh-Syekh dari kerajaannya dan seluruh tokoh terhormat. Beliau berkata, “Makanlah makanan ini. Ini adalah makanan yang murni, yang dibuat dari uang yang halal yang kudapat dari warisan ayahku.”

Semua orang makan kecuali Syekh Naqsyband. Hal ituy mendorong Syekh ul-Islam pada saat itu, Qutb ad-din, untuk bertanya, “Wahai Syekh kami, mengapa engkau tidak makan?“

Syekh Naqsyband berkata, “Aku mempunyai seorang hakim tempat aku berkonsultasi. Aku bertanya kepadanya dan hakim itu berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, mengenai makanan ini terdapat dua kemungkinan. Jika makanan ini tidak halal dan engkau tidak makan, bila engkau ditanya engkau dapat mengatakan, aku datang ke meja seorang raja tetapi aku tidak makan. Maka engkau akan selamat, karena engkau tidak makan. Tetapi bila engkau makan dan engkau ditanya, maka apa yang akan kau katakan? Maka engkau tidak akan selamat.”

Pada saat itu, Qutb ad-Din begitu terkesan dengan kata-kata ini dan tubuhnya mulai bergetar. Beliau harus meminta izin kepada raja untuk menghentikan makannya. Raja sangat heran dan bertanya, “Apa yang harus kita lakukan dengan semua makanan ini?”

Syekh Naqsyband berkata, “Jika ada keraguan mengenai kesucian makanan ini, lebih baik berikan kepada fakir miskin. Kebutuhan mereka akan makanan akan membuatnya halal bagi mereka. Jika seperti yang engkau katakan, makanan ini halal, maka akan lebih banyak lagi berkah dalam pemberian makanan ini sebagai sedekah kepadaereka yang membutuhkan daripada menjamu orang-orang yang tidak benar-benar membutuhkannya.”

Sebagian besar hari-harinya dijalani dengan berpuasa. Jika seorang tamu mendatanginya dan beliau mempunyai sesuatu yang bisa ditawarkan kepadanya, maka beliau akan duduk menemaninya, membatalkan puasanya dan makan bersamanya. Beliau berkata kepada para pengikutnya bahwa para Sahabat Rasulullah SAW biasa melakukan hal yang sama. Syekh Abul Hasan al-Kharqani qs berkata dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Thariqat dan Prinsip-Prinsip dalam Meraih Makrifat”; Jagalah keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa. Ini berarti bahwa jika engkau sedang berpuasa, lalu ada seseorang yang berkunjung sebagai teman, maka engkau harus duduk bersamanya dan makan bersamanya demi menjaga adab dalam berteman dengannya. Salah satu prinsip dalam puasa, atau ibadah lainnya adalah menyembunyikan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jika seseorang membukanya, misalnya dengan berkata kepada tamunya bahwa dia sedang berpuasa, maka kebanggaan bisa masuk ke dalam dirinya sehingga menghancurkan puasanya. Inilah alasan di balik prinsip tersebut.

Suatu hari beliau diberikan seekor ikan yang telah dimasak sebagai hadiah. Di sekitarnya terdapat banyak orang miskin, di antara mereka terdapat seorang anak yang sangat shaleh dan sedang berpuasa.

Syekh Naqsyband memberikan ikan itu kepada orang-orang miskin dan mengatakan kepada mereka, “Silakan duduk dan makan.”

Demikian pula kepada anak yang sedang berpuasa itu, “Duduk dan makanlah.”

Anak itu menolak. Beliau berkata lagi, “Batalkan puasamu dan makanlah.”

Lagi-lagi anak itu menolak.

Beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana jika aku memberimu salah satu di antara hari-hariku di bulan Ramadhan? Maukah engkau duduk dan makan?”

Sekali lagi dia menolak.

Beliau berkata kepadanya, “Bagaimana jika aku memberimu seluruh Ramadhanku?”

Namun masih saja dia menolak.

Beliau berkata, ”Bayazid al-Bistami pernah suatu kali dibebani orang sepertimu. Sejak saat itu anak itu terlihat berpaling untuk mengejar kehidupan duniawi. Dia tidak pernah berpuasa dan tidak pernah beribadah lagi.”[]

INFO TERKAIT:
Silsilah
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Syekh Abi'l Qasim Al-Junayd AL-Baghdady
Syekh Achmad Khatib Sambasi Ibn Abdul Gaffar
Syekh Tholhah Kalisapu Cirebon
Syekh Abdul Karim Bantani
Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad
KHA Sohibulwafa Tajul Arifin

13 Agustus 2008

SHALAT NISFU SYA'BAN

Allahuma barighlana fi rojaba wasyakbana wabarighna ramadhan. Tanpa terasa Rajab telah berlalu, berganti Sya’ban, dan menanti Ramadhan. Namun, di setiap bulan-bulan, hanya keberkahan dan keridhaanNya yang diharap.

Pertengahan Agustus, atau tepat 15 Rajab, Wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyah Naqshabandiyan Ponpes Suryalaya Wilayah Tangerang, Ustadz M. Sirodjudin Ruyani, mengajak para ikhwah untukmelaksanakan shalat khair ba’da maghrib. Shalat dilaksanakan sebanyak 100 rakaat dengan 50 salam dan di setiap rakaat membaca surat Al Ikhlas.

Meski artikel di bawah menjadi polemik soal bid’ah atau tidaknya pelaksanaan shalat itu, bagi jamaah TQN tetap wajib hukumnya. Karena itu, peduli dengan polemik yang berkembang, pelaksanaannya laksana “malam minggu nan dasyat”. Dalam Manaqib Sya’ban 1429 Hijriah di Sekretariat Yayasan Serba Bhakti Ponpes Suryalaya Wilayah Tangerang, pesan yang dihembuskan, “malam itu tak ubahnya lailatut qadr kedua”, karena banyak keberkahan yang bakal diturunkan.

Supaya tidak terlalu “kuper”, saya merasa perlu memperlihat dalil-dalil yang menyongkong pelaksanaan amaliyah itu. Naskah aslinya di blog tausyiah275 memperlihatkan “keganjilan” ibadah nisfu sya’ban. Menurut saya, dengan hadits yang sudah betul, justru penafsirannya yang membias. Saya berani mengatakan seperti itu, karena baru saja khatam membaca “Al Musthafa”-nya Kang Jalaluddin Rakhmat, yang membidik khilafiyah sejarah dan penafsiran hadits.

Jadi, saya yakin seribu persen, dalil-dalil di bawah memang mendukung pelaksanaan amaliyah itu dan bukan kebalikannya.

Nisfu artinya setengah atau seperdua, dan Sya’ban adalah bulan ke-8 dari tahun Hijriyah. Nisfu Sya’ban secara harfiyah berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau tanggal 15 Sya’ban. Jika aku merujuk ke kalender Hijriyah, Insya Allah 16 Agustus besok, besok kita akan tiba di malam ke-15 bulan Sya’ban.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bulan Sya’ban itu bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadhan. Ia adalah bulan diangkatnya amal-amal oleh Tuhan. Aku menginginkan saat diangkat amalku aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Nasa’I dari Usamah)

Riwayat lain yg serupa menuliskan dari Usamah bin Zaid: “Saya bertanya: Wahai Rasulullah SAW, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban”.

Rasul SAW bersabda,”Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa.” (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa?i dan Ibnu Huzaimah).

Dari Aisyah RA, ”Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR Muslim)

Hadits-hadits di atas digunakan saudara-saudara kita yang tidak mendukung pelaksanaan amaliyah di malam ke-15 Sya’ban (shalat 100 rakaat) dengan alasan dhaif. Selain sanadnya lemah, hadits itu tidak membuktikan Rasulallah mempraktikkan amaliyah itu.

Kalau bicara sanad, merujuk uraian Kang Jalaluddin Rakhmat dalam buku “Al Musthafa” perlu menimbang sirad atau sejarah para perawi. Karena, sebuah hadits didokumentasikan dalam suasana politik penguasa. Ketika Bani Ummayah berkuasa, betapa banyak hadits tentang Ali KW yang disingkirkan, sebaliknya mereka mengedepankan keutamaan kelompoknya. Sehingga, soal sanad perlu dikaji lagi.

Kedua, meneliti hadits berdasarkan content, apakah isinya bertentangan dengan Al Qur’an atau tidak? Bila tidak, meski dianggap “dhaif”, kenapa juga harus ragu menerimanya. Karena, soal dhaif juga begitu subyektif dan cenderung emosional kesukuan. Kelompok apa pun bisa melegalkan perbuatannya karena hadits tertentu. Tapi, kelompok lain bisa memdhaifkannya karena hadits tertentu pula. Bagi para ikhawah, ketajaman fawaid sangat perlu. Di sinilah begitu terasanya arti zikir, untuk mendongkrak kepekaan hati kita terhadap permasalahan amaliyah.

Itu bila dilihat dari sudut hadits. Namun, bila kita mencoba mempertanyakan praktik amaliyah Rasulallah SAW, tentu saja harus lebih makin obyektif. Karena, setiap detak jantung dan desah nafasnya adalah ibadah. Rasulallah menjalankan amaliyah secara kaffah dan nawafil. Yang sunnah pun laksana fardhu. Sungguh tiada bandingannya. Bahkan, para sufi sekalipun.

Karena itu, bila ada keraguan dengan jumlah rakaat atau praktik ibadah di hari-hari Beliau SAW, jangan-jangan kita memang tengah mendapat hidayah untuk belajar lebih dalam.

Meski begitu, kalau masih ada saudara-saudara kita yang tetap ngotot mendhaifkannya, kenapa tidak kita balas dengan senyum? Apakah karena hadits dhaif, praktik amaliyah itu tidak boleh dikerjakan? Atau, artinya haram? Dan, karena alasan bid’ah? Kan, amaliyah itu tidak bertentangan dengan Al Qur’an? Tidak bolehkan menunjukkan rasa syukur dan mengharap keberkahan di malam spesial itu melalui shalat 100 rakaat? Bukankah amaliyah itu bertujuan mendekatkan diri kepada Yang Mahasyukur? Bukankah shalat menjadi moment pertemuan denganNya yang paling tepat?

Di bawah ini ada hadits-hadits yang mendukung pelaksaan pesta indah di malam nisfu Sya’ban. Sekali lagi, pertimbangkan sanad dan content dalam penyusunan hadits, plus situasi politiknya. Lebih utama, kelapangan hati kita untuk menyambut dan melaksanakan amaliyah itu.

Hadits lain menyebutkan, “Wahai Ali, barang siapa yang melakukan sholat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya … dan seterusnya.”

Dari Ali bin Abi Tholib KW, “Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, maka bangunlah kamu (menghidupkannya dengan ibadah) pada waktu malam dan berpuasalah kamu pada siangnya, karena sesungguhnya Allah SWT akan turun ke langit dunia pada hari ini bermula dari terbenamnya matahari dan berfirman: ‘Adakah sesiapa yang memohon ampun daripada-Ku akan Ku ampunkannya. Adakah sesiapa yang memohon rezeki daripada-Ku, akan Kukurniakan rezeki kepadanya. Adakah sesiapa yang sakit yang meminta penyembuhan, akan Ku sembuhkannya. Adakah sesiapa yang yang meminta daripada-Ku akan Ku berikan kepadanya, dan adakah begini, adakah begitu dan berlakulah hal ini sehingga terbitnya fajar”.

Diriwayatkan daripada Ibn Umar RA bahwa Rasululloh SAW bersabda, “Barang siapa membaca seribu kali surah al-Ikhlas dalam seratus rakaat solat pada malam Nisfu Sya’ban ia tidak keluar dari dunia (mati) sehinggalah ALLAH SWT mengutuskan dalam tidurnya seratus malaikat; tiga puluh daripada mereka mengkhabarkan syurga baginya, tiga puluh lagi menyelamatkannya dari neraka, tiga puluh yang lain mengawalnya daripada melakukan kesalahan dan sepuluh lagi akan mencegah orang yang memusuhinya.”

Menarik juga menyimak uraian tentang masalah itu di syariahonline.

Sedangkan khusus dalam keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban (nisfu sya’ban), memang ada dalil yang mendasarinya meski tidak terlalu kuat. Di antaranya hadits berikut ini, “Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu Sya’ban kepada hamba-hambaNya serta mengabulkan doa mreka, kecuali sebagian ahli maksiat.”

Sayangnya hadits ini tidak mencapai derajat shahih kecuali hanya dihasankan oleh sebagian orang dan didhaifkan oleh sebagian lainnya. Bahkan Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan bahwa tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu Sya’ban. Begitu juga Ibnu Katsir telah mendha’ifkan hadits yang menerangkan tentang bahwa pada malam nisfu Sya’an itu, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu hingga bulan Sya’ban tahun depan.

Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu Sya’ban itu seperti yang sering dikerjakan oleh sebagian umat Islam dengan serangkaian ritual, kami tidak mendapatkan satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat. Seperti membaca surat Yasin, shalat sunnah dua rakaat dengan niat minta dipanjangkan umur, shalat dua rakaat dengan niat agar dimurahkan rezeki dan seterusnya.

Memang praktek seperti ini ada di banyak negeri, bukan hanya di Indonesia, tetapi di Mesir, Yaman dan negeri lainnya. Bahkan mereka pun sering membaca lafaz doa khusus yang - entah bagaimana - telah tersebar di banyak negeri meski sama sekali bukan berasal dari hadits Rasulullah SAW.[]