13 Agustus 2008

SHALAT NISFU SYA'BAN

Allahuma barighlana fi rojaba wasyakbana wabarighna ramadhan. Tanpa terasa Rajab telah berlalu, berganti Sya’ban, dan menanti Ramadhan. Namun, di setiap bulan-bulan, hanya keberkahan dan keridhaanNya yang diharap.

Pertengahan Agustus, atau tepat 15 Rajab, Wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyah Naqshabandiyan Ponpes Suryalaya Wilayah Tangerang, Ustadz M. Sirodjudin Ruyani, mengajak para ikhwah untukmelaksanakan shalat khair ba’da maghrib. Shalat dilaksanakan sebanyak 100 rakaat dengan 50 salam dan di setiap rakaat membaca surat Al Ikhlas.

Meski artikel di bawah menjadi polemik soal bid’ah atau tidaknya pelaksanaan shalat itu, bagi jamaah TQN tetap wajib hukumnya. Karena itu, peduli dengan polemik yang berkembang, pelaksanaannya laksana “malam minggu nan dasyat”. Dalam Manaqib Sya’ban 1429 Hijriah di Sekretariat Yayasan Serba Bhakti Ponpes Suryalaya Wilayah Tangerang, pesan yang dihembuskan, “malam itu tak ubahnya lailatut qadr kedua”, karena banyak keberkahan yang bakal diturunkan.

Supaya tidak terlalu “kuper”, saya merasa perlu memperlihat dalil-dalil yang menyongkong pelaksanaan amaliyah itu. Naskah aslinya di blog tausyiah275 memperlihatkan “keganjilan” ibadah nisfu sya’ban. Menurut saya, dengan hadits yang sudah betul, justru penafsirannya yang membias. Saya berani mengatakan seperti itu, karena baru saja khatam membaca “Al Musthafa”-nya Kang Jalaluddin Rakhmat, yang membidik khilafiyah sejarah dan penafsiran hadits.

Jadi, saya yakin seribu persen, dalil-dalil di bawah memang mendukung pelaksanaan amaliyah itu dan bukan kebalikannya.

Nisfu artinya setengah atau seperdua, dan Sya’ban adalah bulan ke-8 dari tahun Hijriyah. Nisfu Sya’ban secara harfiyah berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau tanggal 15 Sya’ban. Jika aku merujuk ke kalender Hijriyah, Insya Allah 16 Agustus besok, besok kita akan tiba di malam ke-15 bulan Sya’ban.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bulan Sya’ban itu bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadhan. Ia adalah bulan diangkatnya amal-amal oleh Tuhan. Aku menginginkan saat diangkat amalku aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Nasa’I dari Usamah)

Riwayat lain yg serupa menuliskan dari Usamah bin Zaid: “Saya bertanya: Wahai Rasulullah SAW, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban”.

Rasul SAW bersabda,”Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa.” (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa?i dan Ibnu Huzaimah).

Dari Aisyah RA, ”Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR Muslim)

Hadits-hadits di atas digunakan saudara-saudara kita yang tidak mendukung pelaksanaan amaliyah di malam ke-15 Sya’ban (shalat 100 rakaat) dengan alasan dhaif. Selain sanadnya lemah, hadits itu tidak membuktikan Rasulallah mempraktikkan amaliyah itu.

Kalau bicara sanad, merujuk uraian Kang Jalaluddin Rakhmat dalam buku “Al Musthafa” perlu menimbang sirad atau sejarah para perawi. Karena, sebuah hadits didokumentasikan dalam suasana politik penguasa. Ketika Bani Ummayah berkuasa, betapa banyak hadits tentang Ali KW yang disingkirkan, sebaliknya mereka mengedepankan keutamaan kelompoknya. Sehingga, soal sanad perlu dikaji lagi.

Kedua, meneliti hadits berdasarkan content, apakah isinya bertentangan dengan Al Qur’an atau tidak? Bila tidak, meski dianggap “dhaif”, kenapa juga harus ragu menerimanya. Karena, soal dhaif juga begitu subyektif dan cenderung emosional kesukuan. Kelompok apa pun bisa melegalkan perbuatannya karena hadits tertentu. Tapi, kelompok lain bisa memdhaifkannya karena hadits tertentu pula. Bagi para ikhawah, ketajaman fawaid sangat perlu. Di sinilah begitu terasanya arti zikir, untuk mendongkrak kepekaan hati kita terhadap permasalahan amaliyah.

Itu bila dilihat dari sudut hadits. Namun, bila kita mencoba mempertanyakan praktik amaliyah Rasulallah SAW, tentu saja harus lebih makin obyektif. Karena, setiap detak jantung dan desah nafasnya adalah ibadah. Rasulallah menjalankan amaliyah secara kaffah dan nawafil. Yang sunnah pun laksana fardhu. Sungguh tiada bandingannya. Bahkan, para sufi sekalipun.

Karena itu, bila ada keraguan dengan jumlah rakaat atau praktik ibadah di hari-hari Beliau SAW, jangan-jangan kita memang tengah mendapat hidayah untuk belajar lebih dalam.

Meski begitu, kalau masih ada saudara-saudara kita yang tetap ngotot mendhaifkannya, kenapa tidak kita balas dengan senyum? Apakah karena hadits dhaif, praktik amaliyah itu tidak boleh dikerjakan? Atau, artinya haram? Dan, karena alasan bid’ah? Kan, amaliyah itu tidak bertentangan dengan Al Qur’an? Tidak bolehkan menunjukkan rasa syukur dan mengharap keberkahan di malam spesial itu melalui shalat 100 rakaat? Bukankah amaliyah itu bertujuan mendekatkan diri kepada Yang Mahasyukur? Bukankah shalat menjadi moment pertemuan denganNya yang paling tepat?

Di bawah ini ada hadits-hadits yang mendukung pelaksaan pesta indah di malam nisfu Sya’ban. Sekali lagi, pertimbangkan sanad dan content dalam penyusunan hadits, plus situasi politiknya. Lebih utama, kelapangan hati kita untuk menyambut dan melaksanakan amaliyah itu.

Hadits lain menyebutkan, “Wahai Ali, barang siapa yang melakukan sholat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya … dan seterusnya.”

Dari Ali bin Abi Tholib KW, “Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, maka bangunlah kamu (menghidupkannya dengan ibadah) pada waktu malam dan berpuasalah kamu pada siangnya, karena sesungguhnya Allah SWT akan turun ke langit dunia pada hari ini bermula dari terbenamnya matahari dan berfirman: ‘Adakah sesiapa yang memohon ampun daripada-Ku akan Ku ampunkannya. Adakah sesiapa yang memohon rezeki daripada-Ku, akan Kukurniakan rezeki kepadanya. Adakah sesiapa yang sakit yang meminta penyembuhan, akan Ku sembuhkannya. Adakah sesiapa yang yang meminta daripada-Ku akan Ku berikan kepadanya, dan adakah begini, adakah begitu dan berlakulah hal ini sehingga terbitnya fajar”.

Diriwayatkan daripada Ibn Umar RA bahwa Rasululloh SAW bersabda, “Barang siapa membaca seribu kali surah al-Ikhlas dalam seratus rakaat solat pada malam Nisfu Sya’ban ia tidak keluar dari dunia (mati) sehinggalah ALLAH SWT mengutuskan dalam tidurnya seratus malaikat; tiga puluh daripada mereka mengkhabarkan syurga baginya, tiga puluh lagi menyelamatkannya dari neraka, tiga puluh yang lain mengawalnya daripada melakukan kesalahan dan sepuluh lagi akan mencegah orang yang memusuhinya.”

Menarik juga menyimak uraian tentang masalah itu di syariahonline.

Sedangkan khusus dalam keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban (nisfu sya’ban), memang ada dalil yang mendasarinya meski tidak terlalu kuat. Di antaranya hadits berikut ini, “Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu Sya’ban kepada hamba-hambaNya serta mengabulkan doa mreka, kecuali sebagian ahli maksiat.”

Sayangnya hadits ini tidak mencapai derajat shahih kecuali hanya dihasankan oleh sebagian orang dan didhaifkan oleh sebagian lainnya. Bahkan Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan bahwa tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu Sya’ban. Begitu juga Ibnu Katsir telah mendha’ifkan hadits yang menerangkan tentang bahwa pada malam nisfu Sya’an itu, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu hingga bulan Sya’ban tahun depan.

Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu Sya’ban itu seperti yang sering dikerjakan oleh sebagian umat Islam dengan serangkaian ritual, kami tidak mendapatkan satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat. Seperti membaca surat Yasin, shalat sunnah dua rakaat dengan niat minta dipanjangkan umur, shalat dua rakaat dengan niat agar dimurahkan rezeki dan seterusnya.

Memang praktek seperti ini ada di banyak negeri, bukan hanya di Indonesia, tetapi di Mesir, Yaman dan negeri lainnya. Bahkan mereka pun sering membaca lafaz doa khusus yang - entah bagaimana - telah tersebar di banyak negeri meski sama sekali bukan berasal dari hadits Rasulullah SAW.[]