Pelaksanaan shalat nisfu sya’ban yang 100 rakaat, ternyata menjadi “cerita” tersendiri di kalangan muslim tertentu. Mereka menyebutnya bid’ah (arti sebenarnya, berlebihan). Sehingga, polemik pun terus memanjang tanpa batas, dan memuaskan birahi bersuara.
Tapi, pata akhwah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) jalan terus – sesuai amanat pangersa Abah Anom dan petunjuk teknisnya di laman suryalaya.org. Biarlah persoalan bid’ah dan kecaman syariat berdatangan. Biarlah Ilmu Fiqih mengupasnya dan mencari solusi terbaik. Yang pasti, para akhwah merasa nikmat luar biasa dengan pelaksanaan ibadah itu.
Suasana haru dan penuh kerinduan dirasakan para akhwah Mushalla Sohibul Manfaat jauh sebelum hari H tiba. Pada malam khataman (Jum’at malam), Ustadz M. Siradjudin Ruyani mengupas panjang-lebar fadhilah dan himbauan untuk menikmati “lailatul qadr” di bulan Sya’ban itu. Dan seperti biasa, para akhwah tidak bereaksi berlebihan, dan siap mengikutinya dengan khusu. Maklum, ibadah itu telah digelar tiga kali berturut-turut. Jadi, bukan barang aneh lagi.
Pada hari H, para akhwah dari sekeliling Tangerang berkumpul sejak pukul 17.30 WIB (bukti kesungguhan untuk tidak melewati malam spesial itu). Setelah shalat maghrib, kami juga melanjutkannya dengan zikir harian, sejumlah shalat sunnah lain, seperti ba’diah, lidafil bala, taubat, hajat, dan syukur nikmat. Setelah itu, kami pun melaksanakan shalat 100 rakat, dengan diselingi shalat isya dan ba’diah. Yang menarik, ibadah kali ini bukan hanya melibatkan para ikhwah, tapi anggota keluarga lainnya. Termasuk, anak-anak yang masih di bangku sekolah dasar. Subhanallah.
“Orang tarekat beribadah dengan khatir (rasa). Jadi, tidak ada perasaan lelah,” kata Ustadz Siradjudin, menyinggung kesungguhan para akhwah. Semua terdiam, tertunduk, seraya berzikir khofi tanpa putus.
Setelah mengurai fadhilah dan keutamaan shalat itu, plus dalil-dalilnya, kami disejukkan dengan uraian ma’rifat amaliyah. Hal ini menjadi penting, karena pada kelompok-kelompok tarekat amaliyah umumnya tidak pernah membahas secara khusus masalah itu. Bahkan, para akhwah dibiasakan untuk tidak mempersoalan tajjali atau suasana magis yang biasa terjadi di kalangan penganut tarekat filsafat.
“Bukti kita mencapai ma’rifat adalah kesungguhan ibadah itu sendiri. Ketika kita merasa butuh untuk selalu beribadah, shalat dan zikir, tanpa menghitung-hitung lagi pahala, fadhilah, dan imbalan, serta kuantitas pelaksanaannya, maka itulah ma’rifat. Karena, kita telah merasakan nikmat berdekatan dengan Allah SWT melalui momen shalat dan zikir,” jelas Ustadz Siradjudin. Subhanallah, perlahan-lahan, kalimat tasbih itu terus mengguman.
Selepas shalat nisfu sya’ban, satu hari setelah momen itu terlewati, ada perasaan kehilangan yang mendalam. Tiba-tiba, kami merasakannya seperti berada di tanggal 1 Syawal – ba’da puasa Ramadhan selama sebulan, shalat iedul fitri, seraya menikmati kelelahan dan kebahagiaan. Tiba-tiba, hati ini merasa hampa. Kesepian. Dan, ada juga kerinduan. Ah, perasaan apa juga yang terjadi? []
Tapi, pata akhwah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) jalan terus – sesuai amanat pangersa Abah Anom dan petunjuk teknisnya di laman suryalaya.org. Biarlah persoalan bid’ah dan kecaman syariat berdatangan. Biarlah Ilmu Fiqih mengupasnya dan mencari solusi terbaik. Yang pasti, para akhwah merasa nikmat luar biasa dengan pelaksanaan ibadah itu.
Suasana haru dan penuh kerinduan dirasakan para akhwah Mushalla Sohibul Manfaat jauh sebelum hari H tiba. Pada malam khataman (Jum’at malam), Ustadz M. Siradjudin Ruyani mengupas panjang-lebar fadhilah dan himbauan untuk menikmati “lailatul qadr” di bulan Sya’ban itu. Dan seperti biasa, para akhwah tidak bereaksi berlebihan, dan siap mengikutinya dengan khusu. Maklum, ibadah itu telah digelar tiga kali berturut-turut. Jadi, bukan barang aneh lagi.
Pada hari H, para akhwah dari sekeliling Tangerang berkumpul sejak pukul 17.30 WIB (bukti kesungguhan untuk tidak melewati malam spesial itu). Setelah shalat maghrib, kami juga melanjutkannya dengan zikir harian, sejumlah shalat sunnah lain, seperti ba’diah, lidafil bala, taubat, hajat, dan syukur nikmat. Setelah itu, kami pun melaksanakan shalat 100 rakat, dengan diselingi shalat isya dan ba’diah. Yang menarik, ibadah kali ini bukan hanya melibatkan para ikhwah, tapi anggota keluarga lainnya. Termasuk, anak-anak yang masih di bangku sekolah dasar. Subhanallah.
“Orang tarekat beribadah dengan khatir (rasa). Jadi, tidak ada perasaan lelah,” kata Ustadz Siradjudin, menyinggung kesungguhan para akhwah. Semua terdiam, tertunduk, seraya berzikir khofi tanpa putus.
Setelah mengurai fadhilah dan keutamaan shalat itu, plus dalil-dalilnya, kami disejukkan dengan uraian ma’rifat amaliyah. Hal ini menjadi penting, karena pada kelompok-kelompok tarekat amaliyah umumnya tidak pernah membahas secara khusus masalah itu. Bahkan, para akhwah dibiasakan untuk tidak mempersoalan tajjali atau suasana magis yang biasa terjadi di kalangan penganut tarekat filsafat.
“Bukti kita mencapai ma’rifat adalah kesungguhan ibadah itu sendiri. Ketika kita merasa butuh untuk selalu beribadah, shalat dan zikir, tanpa menghitung-hitung lagi pahala, fadhilah, dan imbalan, serta kuantitas pelaksanaannya, maka itulah ma’rifat. Karena, kita telah merasakan nikmat berdekatan dengan Allah SWT melalui momen shalat dan zikir,” jelas Ustadz Siradjudin. Subhanallah, perlahan-lahan, kalimat tasbih itu terus mengguman.
Selepas shalat nisfu sya’ban, satu hari setelah momen itu terlewati, ada perasaan kehilangan yang mendalam. Tiba-tiba, kami merasakannya seperti berada di tanggal 1 Syawal – ba’da puasa Ramadhan selama sebulan, shalat iedul fitri, seraya menikmati kelelahan dan kebahagiaan. Tiba-tiba, hati ini merasa hampa. Kesepian. Dan, ada juga kerinduan. Ah, perasaan apa juga yang terjadi? []