is majelis dzikir
Memasuki malama-malam lailatul qadr, akhwah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah mendapat tugas khusus untuk mengamalkan SHALAT LAILATUL QADR sebanyak dua rakaat sebelum tidur. Atau, setelah melaksanakan shalat-shalat sunnah rutin; shalat mutlaq, shalat istikharah, shalat hajat, dan shalat tasbih.
“Rakaat pertama membaca surat Al Fatihah dan At Takatsur. Sedangkan rakaat kedua membaca surat Al Fatihah dan Al Ikhlas tiga kali,” kata Ustadz M. Siradjudin Ruyani, seusai memimpin shalat tarawih. Di malam ke-23 Ramadhan itu, ia tidak melakukan shalat witir berjamaah. Tapi, ia menyarankan kepada para jemaah untuk melaksanakannnya di rumah. Artinya, setelah melaksanakan shalat malam, seperti shalat tahajut, hajat, dan tasbih.
Khusus untuk shalat sebelum tidur, ia meminta untuk memasukkan shalat lailatul qadr dalam rangkaian shalat sunnah rutin lainnya.[]
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan Kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yanq bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua ibu bapakmu, hanya kepadaKu lah kembalimu” (Q.S. Luqman: 14)
Diriwayatkan Abu Abdurrahman Abdullah ibnu Mas’ud RA:
Aku bertanya kepada Nabi SAW, “Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT?”
Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?”
Beliau menjawab, “Birrul walidain.”
Kemudian aku bertanya lagi, “Seterusnya apa?”
Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.”
Birrul walidain terdiri dari kata al birrul artinya kebajikan dan al walidain artinya dua orang tua atau ayah bunda. Maka, birrul walidain maknanya berbuat kebajikan kepada kedua orangtua atau berbuat ihsan sesuai dengan perintah Allah SWT dalam surah Al Ahqaf ayat 15, “Kami wajibkan kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan (ihsan) kepada dua orang ayah bundanya”.
Sahabat Abu Umamah RA mengisahkan, seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai peranan kedua orang tua dan dijawab, “Mereka (kedua orang tua) adalah yang menyebabkan surgamu atau nerakamu.” (HR. Ibnu Majah).
Ketika Muawiyah ibnu Jahimah mendatangi Rasulullah SAW untuk memohon, agar ia dapat ikut berjihad bersama beliau ke medan juang. Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah ibunya masih hidup?”
Muawiyah rnenjawab bahwa ibunya masih hidup. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Kembalilah ke rumah dan layani ibumu, karena sorga berada di bawah telapak kakinya” (HR. lbnu Majah dan Nasa’i)
Di antara perintah Allah mengenai birrul walidain terdapat dalam surah Al Isra’ ayat 23 –24. Bila diperhatikan firman Allah dalam ayat ini dapat diambil beberapa hal pokok. Pertama, hak dan kedudukan orang tua (ayah bunda) di dalam Islam memiliki kedudukan yang mulia, langsung berada di bawah hak-hak Allah SWT. Al Qur’an berulang kali memerintahkan berperilaku menyenangkan, patuh, dan berbakti kepada ayah bunda.
Selanjutnya, apabila kedua ayah bunda sudah berusia lanjut, sikap dan perasaan mereka cepat berubah, seperti menjadi mudah tersinggung, suka marah dan cepat bersedih hati, karena ketuaan usia mereka. Maka kepada anak-anak mereka diperintahkan, agar melihat perubahan perilaku ayah bunda itu sebagai suatu yang lumrah dan mesti diterima dengan selalu menampakkan rasa kasih sayang yang tulus.
Birrul walidain menempati kedudukan istemewa dalam ajaran Islam. Perintah ihsan kepada ayah bunda ditempatkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an sesudah perintah beribadah kepada Allah dan sesudah larangan menyekutukan-Nya. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan esuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak wabil waalidaini ihsanan… (Q.S. An Al Isra’: 36)
Allah telah menetapkan perintah berterima kasih kepada ayah bunda sesudah perintah bersyukur kepada Allah SWT. “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. (Q.S. Luqman:14)
Kemudian, Baginda Rasulullah SAW mengaitkan keridhaan Allah SWT bertalian dengan keridhaan ayah bunda, sesuai sabda beliau, “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orangtua, dan kemarahan Rabb (Allah) ada pada kemarahan orang tua” (HR. At Tirmidzi). Demikian pula, Rasulullah SAW meletakkan ‘uququl walidain (durhaka kepada dua orang ibu bapak) sebagai dosa besar sesudah al isyraaku billah (syirik).
Maka di dalam mengamalkan ibadah-ibadah di dalam bulan Ramadhan khususnya, dan juga pada setiap saat, janganlah dilalaikan untuk berdoa bagi keselamatan dan kesejahteraan kedua ayah bunda, agar Allah SWT menurunkan rahmatnya untuk kita semua.
Khusus untuk akhwah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah memiliki ciri tersendiri untuk menunjukkan sikap berbakti kepada orangtua. Pada fase maghfiroh di bulan Ramadhan ini, mereka dituntut melaknakan SHALAT BIRRUL WALIDAIN sebanyak dua rakaat ba’da shalat maghrib. Rakaat pertama membaca surat Al Fatihah dan Al Qadr. Sedangkan rakaat kedua membaca surat Al Fatihah dan Al Ikhlas.[]
Selalu ada hal luar biasa di Mushalla Sohibul Manfaat (dibanding tempat ibadah lain, tentunya). Terlebih lagi di bulan Ramadhan. Apalagi kalau bukan menyangkut ibadah dan kebersamaan.
Ibadah dan kebersamaan?
Selalu, dua hal itu yang menonjol. Menyangkut ibadah, sudah pasti. Karena, di Mushalla yang “dikawal” Wakil Talqin Thoriqoh Qadiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya Ustadz M. Siradjudin Ruyani itu, ibadah tetap nomor satu. Wujudnya, kualitas dan kuantitas shalat dan zikir yang di luar kebiasaan.
Ba’da maghrib (juga dilakukan berbuka puasa bersama), para akhwah berzikir harian dan khataman. Tak lama berselang, bedug isya pun terdengar. Maka, shalat isya dan tarawih (yang 20 rakaat plus 3 witir) digelar. Zikir harian tetap dikumandangkan di antara shalat fardhu dan shalat sunnah muakkad itu. Setelah itu, Ustadz Sirod akan membelai kalbu dengan “kuliah tujuh menit”nya. Ceramah singkat ini memang asli tujuh menit, karena disiapkan untuk sekedar mengingatkan para akhwah untuk istiqomah dalam pelaksanaan ibadah dan rutinis TQN.
Ketika waktu khataman (mingguan) tiba di malam Sabtu, para akhwah pun makin ramai. Kami pun berzikir tanpa lelah dan bosan hingga pukul 24.00 WIB. Subhanallah.
Di antara pelaksnaan ibadah berjamaah yang tetap semangat itu, kebersamaan tetap menjadi jiwa Sohuibul Manfaat. Dengan berbuka puasa bersama, menyiapkan “takjil” ba’dan tarawih yang bergiliran dan dinikmati sama-sama, juga gotong-royong menikmati khataman, para akhwah jadi diikat dalam satu batin. Semua menikmati menu yang sama. Semua merasakan beban yang sama. Dan sama menjamu rasa kebersamaan itu.
Bila ada tempat lain yang juga menawkan nuansa yang sama pastilah masih berkaitan dengan TQN. Karena kelompk tarekat ini memang “disiplin” dengan konsep totalitas amaliyah dan kebersamaan. Sehingga, tanpa terasa, malam barokah terlewati, malam maghfiroh tengah dijalani, dan malam ikum minanar segara dijelang. Dan, Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin.[]